Daerah

Penjajah Memutus Sejarah, Santri yang Menghubungkannya

Senin, 29 Oktober 2018 | 08:00 WIB

Penjajah Memutus Sejarah, Santri yang Menghubungkannya

Santri Nuris Jember

Tangerang Selatan, NU Online
Aksara Latin baru digunakan sebagai ejaan resmi dengan ditetapkannya ejaan Van Opuijsen pada tahun 1901. Jauh sebelum itu, masyarakat Nusantara menggunakan aksara daerah masing-masing dan aksara Arab.

Keputusan Belanda menetapkan Latin sebagai aksara yang digunakan dalam administrasi memang tidak berhubungan secara langsung dengan dunia santri, tetapi hal itu memberikan dampak nyata yang tidak terpikirkan sebelumnya.

"Bahwa pertama kali dalam sejarah Indonesia diputuskan rantai sejarahnya dengan masa lalunya sehingga orang tidak memiliki akses terhadap tradisinya," kata Makyun Subuki, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saat diskusi bertema Dedikasi Santri untuk Negeri, di Keygardens, Ciputat, Tangerang Selatan, Ahad (28/10).

Akses tradisi yang dulu ditulis dengan aksara Arab Jawi kemudian diputus dengan disahkannya aksara Latin. Tak ayal orang sekarang, kata Makyun, yang mampu membaca naskah-naskah lama itu hanya para filolog.

"Dan filolog-filolog yang 'canggih' itu semuanya berasal dari kaum santri," ujar alumnus Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Jakarta Barat itu.

Ia menyebutkan tiga filolog kenamaan dari UIN Jakarta yang diakui dunia, yakni Oman Fathurahman (alumnus Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya), Adib Misbahul Islam (alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri) dan Nida Fadlan (alumnus Pondok Pesantren Buntet, Cirebon).

Selain menghubungkan tradisi lama, Makyun juga mengungkapkan bahwa santri juga terlibat perjuangan fisik guna mewujudkan kemerdekaan. Hal ini terbukti dengan adanya resolusi jihad 22 Oktober yang kemudian diperingati sebagai Hari Santri.

Diskusi ini juga menghadirkan Rahmat Hidayatullah, alumnus Pondok Pesantren Al-Awwabin, dan Mixilmina Munir, alumnus Pondok Pesantren Ilmu Al-Qur'an. (Syakir NF/Abdullah Alawi)


Terkait