Tulungagung, NU Online
Pada umumnya wirausaha semata-mata hanya diorientasikan dengan bisnis, yang tujuannya mengejar keuntungan sebesar-besarnya dari kegiatan usaha yang telah dilakukan. Itu konsep konvensional, karena sekarang telah berkembang konsep dan praktek wirausaha sosial, yang tidak sekedar berorientasi bisnis, tapi di dalamnya juga ada komitmen terhadap misi dan tanggung jawab sosial.
Demikian dikemukakan M. Nizarul Alim, Direktur Utama Konsultan Akuntansi dan Bisnis Frima Utama Malang, usai berbicara dalam sebuah diskusi tentang wirausaha yang digelar Yayasan Lembaga Kajian Islam (YaLKI) Tulungagung, Sabtu (25/9) di Hall Barata Tulungagung.
<>“Misi sosial diarahkan pada aktifitas-aktifitas yang memiliki manfaat sosial. Sedangkan tanggung jawab sosial lebih diorientasikan pada upaya agar suatu wirausaha yang dikembangkan oleh seseorang tidak malah menghancurkan usaha yang berada di lingkungannnya. Namun sebaliknya, justru saling mendukung dan melengkapi,”tandas peraih gelar doktor dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu.
Menurutnya, contoh misi sosial yang dia maksud adalah dengan berusaha melatih dan membiasakan menyisihkan sebagian keuntungannya dalam bentuk zakat, infaq dan shodaqah. Kemudian disalurkan untuk kepentingan sosial, seperti memberi fakir miskin, menyantuni anak yatim, memberi beasiswa bagi anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu.
“Misi sosial inilah yang harus dibudayakan dalam individu atau kelompok guna menyiapkan mental, agar kelak apabila usahanya berkembang, tetap memiliki kepedulian atau kepekaan sosial yang tinggi. Sementara tanggung jawab sosial pengembangan usaha diupayakan supaya tidak mematikan usaha di sekitarnya,”tutur Alim.
Sayangnya, kata dia, hal itu seringkali terabaikan. Ini bisa dilihat dari menjamurnya mal-mal yang justru telah menggeser bahkan menghancurkan pasar rakyat. Keberadaan industri besar di suatu tempat mengakibatkan lumpuhnya industri-industri kecil di sekelilingnya.
“Pesantren melakukan kegiatan bisnis beresiko terhadap matinya usaha penduduk setempat, karena para santri lebih memilih membeli di pesantren dan tidak mau ambil resiko. Ini sebenarnya tidak boleh terjadi. Oleh karena itu, membangun dan mengembangkan wirausaha harus sinergi dengan lingkungan sekitar,”tambah Alim.
Apabila usaha yang dilakukan seseorang sejenis dengan lingkungannya, papar Alim, maka sebaiknya membentuk suatu paguyuban untuk berkembang bersama serta menghindari konflik.
“Pendek kata, wirausaha sosial memandang bahwa tidak ada istilah pesaing dalam bisnis. Yang ada adalah mitra atau rekan bisnis. Lingkungan sebagai pendukung, bukan pengganggu. Berbisnis tidak hanya cari uang, tapi juga cari teman. Dan berbisnis tidak hanya cari nafkah, namun juga cari berkah,”jelasnya.
Meski demikian, lanjut Alim, bukan berarti konsep wirausaha semacam itu akan mengendurkan etos (semangat) para pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya. Justru sebaliknya, hal itu dapat menambah etos kerja. Sebab, orang yang berwirausaha pada dasarnya adalah orang yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
“Karenanya, sangat tepat bila sektor wirausaha terus dikembangkan. Apalagi data statistik menunjukkan, Indonesia saat ini masih membutuhkan sekitar 17 juta pelaku usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKMK). Tingkat penyerapan UMKMK kini mencapai 37,7 persen penduduk Indonesia atau sekitar 76,5 juta orang,” terang Alim.
Kontributor: Wahid Nasiruddin