Suatu ketika, salah seorang santri KH Khotib Umar, berpamitan kepada beliau untuk pulang kampung. Sebab, santri tersebut merasa sudah lebih dari cukup belajar kitab kuning. Mulai dari ilmu gramatikal seperti nahwu, shorof hingga tasawuf seperti al-Hikam, santri itu telah tuntas belajar dan memahami isinya.
Semua sudah dilahap habis, namun sang kiai yang juga pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Sumberwringin, Kecamatan Sukowono, Jember, Jawa Timur itu melarang santrinya itu berhenti mondok.
Hal tersebut diungkapkan Rais PCNU Jember, KH Muhyiddin Abdusshomad saat menyampaikan tausiah dalam acara Turba PCNU Jember di Desa Sumuran, Kecamatan Ajung, Sabtu (24/3).
Kiai Muhyidin menceritakan, bagaimana ngototnya santri Kiai Khotib yang segera ingin pulang kampung karena merasa sudah menguasai ilmu yang diajarkan dalam kitab kitab telah dipelajarinya. Namun karena santri tersebut ngotot, sementara Kiyai Khotib menganggap ada satu ilmu yang belum dipelajari, yakni ilmu akhlak di masyarakat. Meski demikian Kiai Khotib pun akhirnya merestui santri kesayanganya itu pulang kampung.
Suatu hari si santri hebat itu melakukan shalat Jumat di sebelah rumahnya. Namun ada yang kurang sreg di hatinya saat khotib shalat Jumat ‘keseleo’ dalam menyampaikan khotbah, selain kurang fasih dalam membaca arabnya.
Usai shalat Jumat, si santri langsung berdiri seraya memohon jama’ah untuk tidak meningggalkan masjid. “Mohon maaf bapak-bapak, jangan turun dulu. Kita harus shalat Jumat lagi, diulang. Sebab, khotbah tadi keliru dan mengganggu sahnya shalat,” begitu kata santri tersebut.
Jamaah terdiam sejenak dan saling pandang. Namun sejurus kemudian mereka bangun dari duduknya dan mencaci maki bahkan memukuli si santri itu. Mereka malah menganggap santri itu tidak waras.
Menurutnya, ilmu masyarakat sangat penting. Tak kalah pentignya dengan ilmu dalam kitab. Sebab, tanpa mengenal dan memahami ilmu bermasyarakat, maka penerapan ilmu kitab kurang efektif.
“Bisa jadi khotib tersebut sudah mengakar di masyarakat, melayani kegiatan masyarakat dan sebagainya walaupun dia tidak alim. Jangan karena punya ilmu tinggi, lantas merasa tak perlu bermasyarakat. Itu tidak bagus,” Kiai Muhyiddin.
Tokoh yang pernah lama menjadi santri KH Khotib Umar itu menambahkan, pengurus NU wajib memahami kebiasaan masyarakat dengan cara terlibat langsung dalam kegiatan warga.
“Intinya kita harus menjadi pelayan masyarakat. Bagaimana NU bisa berkembang kalau pengurusnya tidak bisa melayani masyarakat,” ulasnya (Aryudi AR/Muiz).