Daerah

Teliti NU, Mahasiswa Raih ‘Doktor Memuaskan’

Rabu, 18 September 2013 | 02:03 WIB

Pamekasan, NU Online
Prestasi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kabupaten Pamekasan terus meningkat. Jumlah dosen yang bergelar doktor di kampus berhaluan Aswaja ini, kini kian banyak. Dari yang sebelumnya 13 orang, sekarang bertambah dua orang. Sehingga, totalnya menjadi 15 doktor yang siap mencerdaskan bangsa.
<>
Kedua doktor tersebut adalah Dr Nur Hasan, M.Ag dan Dr Siswanto, M.Pd.I. Keduanya sukses menjalani ujian terbuka disertasi di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Siswanto menjalani Ujian terbuka 23 Juli 2013, sedangkan Nur Hasan pada 11 September 2013. Nilai yang diperoleh keduanya ialah “Sangat Memuaskan”.

Dalam Disertasinya, Nur Hasan meneliti "Kerukunan Umat Beragama di Pamekasan (Studi atas Peran Elit NU Kabupaten Pamekasan)" dengan Pendekatan Konstruksi Sosial. Pria asal Desa Larangan Tokol, Tlanakan, Pamekasan, ini menyusun rumusan masalah kondisi riil kerukunan umat beragama di Pamekasan, elit NU dalam konstruk kehidupan masyarakat Pamekasan, dan upaya-upaya yang dilakukan elit NU dalam membangun kerukunan umat beragama di Pamekasan.

“Mengacu pada rumusan tersebut, diketahui betapa kondisi riil kerukunan umat beragama di Pamekasan berada tataran kondusif,” ujar Nur Hasan.

Dikatakan, hal itu didukung oleh pertama, persepsi masyarakat Pamekasan dan elit NU tentang toleransi beragama. Mereka menyatakan bahwa semua manusia itu sama. Berasal dari keturunan yang sama. Sehingga, perbedaan tidak memunculkan perpecahan.

Kedua, sela Nur Hasan, pendukungnya ialah karena faktor politik yang terbuka dan memberi peluang bagi masyarakat untuk berbeda pilihan. Ketiga, kesadaran tingkat pendidikan masyarakat yang sudah mulai tinggi.

Hal itu memberi peluang untuk mempengaruhi cakrawala berpikir mereka. “Kemudian, faktor yang lainnya ialah karena pertumbuhan dan perkembangan ilmu dan teknologi. Sehingga, banyak masyarakat yang belajar agama secara mandiri, baik secara cetak maupun elektronik. Itu berpengaruh terhadap pola pikir mereka,” terangnya.

Selanjutnya, Nur Hasan menemukan kecenderungan masyarakat Madura, khususnya Pamekasan, pada patronase terhadap elit NU (kiai struktural maupun non-struktural) masih tinggi.

“Itu terjadi pada masyarakat tertentu. Tapi bagi masyarakat yang 'nalar akademik'nya tinggi, elit NU tidak lagi menjadi rujukan satu-satunya. Tetapi ada gentre baru yang saya sebut "kiai tanpa santri dan pondok (KTSP)", itu juga berperan dalam memberikan pembinaan penciptaan kerukunan keberagamaan,” ungkap pria kelahiran Pamekasan, 13 Agustus 1967.

Dalam bidang-bidang tertentu, masyarakat akademis ini, ketaatannya tidak mutlak. Bergeser ke ketaatan rasional. Artinya, kiai tidak selamanya menjadi rujukan utama dalam segala bidang. Namun, dalam bidang agama, kiai tetap masih menjadi rujukan. Untuk hal politik, ekonomi, dan lain-lain, tidak menjadi rujukan utama.

Adapun upaya-upaya penciptaan kerukunan oleh elit NU, terang Nur Hasan, antara lain adalah menanamkan kesadaran pada masyarakat untuk bersikap terbuka terhadap perbedaan. Termasuk memberi contoh, bagaimana menghadapi perbedaan. Kedua, terciptanya forum-forum, atas inisiatif pemerintah dan juga NU, seperti Fokus, FKUB, Pemberdayaan Lembaga-Lembaga Keagaan di masyarakat (koloman/majlis ta'lim).

“Di sini terjadi dialog interaksi antara elit dan masyarakat. Di sini sangat efektif untuk melahirkan kerukunan,” tukasnya.

Terpisah, Siswanto mengangkat Disertasi dengan judul “Manajemen Peningkatan Mutu Madrasah di Pesantren (Studi Multi Kasus pada MA Nurul Jadid Paiton Probolinggo, MA Al-Amien I Putri Pragaan Sumene, dan MAN Tambakberas Jombang)”.

Hasil penelitiannya menunjukkan pertama, realitas mutu pendidikan pada tiga madrasah dikategorikan baik dengan indikator prestasi siswa dalam ujian dan kejuaraan akademik/non-akademik, daya serap alumni di perguruan tinggi ternama, menjadi rujukan studi kelembagaan, nilai akreditasi predikat unggulan (A), dan jumlah siswa semakin meningkat.

“Sehingga, dapat dikategorikan sebagai madrasah unggulan. Standar mutu lulusan dititikberatkan pada pencapaian kompetensi jurusan baik sikap, pengetahuan, dan keterampilan, serta amaliyah nilai-nilai kepesantrenan,” terangnya.

Hasil penelitian Siswanto yang kedua, implementasi peningkatan mutu diawali dengan perumusan rencana strategis pengembangan mutu pendidikan. Tataran implementasinya adalah: pertama, menerapkan kepemimpinan visioner, inovatif, dan futuristik, yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dengan penataan manajemen dan tata kerja secara struktur.

“Tataran implementasi yang kedua, pengembangan SDN dilaksanakan dengan proses rekrutmen, diklat dan pendidikan lanjutan. Ketiga, kurikulum dikembangkan pada muatan lokal dengan penguatan materi jurusan dan materi keagamaan berbasis nilai-nilai kepesantrenan, dan masih banyak lagi hingga delapan tataran implementasi,” terangnya.

Hasil penelitian yang ketiga ialah berkaitan dengan faktor pendukung kemajuan madrasah yang ditelitinya. Yaitu meliputi komitmen yang dibangun oleh semua warga madrasah, iklim kepemimpinan yang kondusif dan transformasional, nilai-nilai kepesantrenan sebagai jiwa dan motivasi pengembangan, keterlibatan dan kerjasama orangtua atau masyarakat, dan eksprektasi masyarakat terhadap pendidikan yang bermutu.

“Ada juga kendala dalam pengelolaan pendidikan di madrasah yang saya teliti. Yaitu dukungan guru pada program madrasah belum maksimal, munculnya resistensi dalam membangun budaya mutu, dan pendanaan belum memadai,” terang pria asal Larangan Luar, Larangan, Pamekasan, kelahiran 15 Pebruari 1978. (Hairul Anam/Mahbib)


Terkait