Tak salah kalau WS. Rendra dijuluki Si Burung Merak. Ia selalu memukau. Karya puisi maupun aksi teatrikalnya kerap menarik sudut mata untuk memerhatikannya. Perhatian berdatangan kepadanya seperti ribuan laskar malaikat yang turun dari langit.<>
Pemerintah Orde Baru pun tertarik dengan Penyair Burung Merak ini. Pada Tahun 1978, WS. Rendra dijemput aparat keamanan tatkala membacakan puisi-puisi-nya di Taman Ismail Marzuki. Dunia kesenian geger dengan peristiwa ini. Pembacaan puisi dilakukannya atas undangan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Aparat keamanan menilai puisi-puisi Rendra meresahkan masyarakat. Ujungnya, ekses puisi Burung Merak dapat berakibat pada gangguan keamanan. Memang, karya-karya Rendra medio 1970-an bersuara sumbang terhadap kebijakan pemerintah kala itu. Ideologi ‘Pembangunan’ yang diusung dan dipraktikkan rezim Orde Baru terang-terang merugikan masyarakat. Mental dan fisik masyarakat tercemar oleh intrik rezim saat itu.
‘Potret Pembangunan dalam Puisi’ adalah buku kumpulan puisinya yang terbit tahun 1978. Kumpulan puisi yang dikenal selanjutnya dengan ‘Sajak-sajak Pamflet’ ini menampilkan wajah pembangunan pemerintah penuh luka dan cacat yang tak terampuni.
Keruan saja, penangkapan WS. Rendra, membuat pusing jajaran DKJ. Pusing yang ini agak lain. Tentu saja tidak hilang dengan obat sakit kepala. Bagaimana tidak pusing! Apa pasal rupanya? Burung Merak diundang untuk dinikmati aksi pentasnya, bukan untuk dikandangkan dalam tahanan. Rasanya, mereka memanggul beban seberat dua gunung.
Sejumlah Dewan Pekerja Harian DKJ, repot mondar-mandir mendatangi para petinggi sipil dan militer. Peristiwa penangkapan ini menelan habis perhatian DKJ seakan penangkapan itu menjadi satu-satunya urusan mereka. Mereka menuntut kepada para petinggi itu untuk melepas Burung Merak dari terali besi.
Kawan-kawan DKJ kala itu sangat mengandalkan Asrul Sani, pentolan Lesbumi NU, sebagai juru bicara terdepan. Di kalangan seniman, Asrul Sani ini dikenal memiliki kelebihan retoris luar biasa. Logika bahasanya kerap melumpuhkan bahasa kawan bicaranya. Siapapun kalau berhadapan bicara dengan bisa terjengkang, ‘KO’ tak bersuara lagi. Selain alasan di atas, Asrul Sani juga seorang ketua DKJ. Asrul Sani, Iravati Soediarso, dan Ajip Rosidi adalah ketua DKJ masa bakti 1977-1981. Artinya, Asrul punya posisi strategis di hadapan pemerintah.
Asrul meminta petinggi pemerintah itu agar segera mengulurkan tangan guna membuka gembok pintu tahanan yang cadas dan dingin. Kawan-kawan tak salah alamat untuk memajukan Asrul menghadapi pemerintah.
Duduk soalnya sederhana saja. Kawan-kawan DKJ melewati jalan umum. Sesuai kesepakatan lisan dengan Gubernur Ali Sadikin yang memercayakan DKJ di awal pembentukannya untuk mengelola Pusat Kesenian Jakarta, DKJ punya keleluasaan untuk mengadakan pementasan kesenian dengan segala genrenya. Kalau sampai menerobos batas ketertiban, Gubernur berhak menuntut pertanggungjawaban DKJ.
Dilihat dari teropong kesepakatan lisan itu, sungguh patut disesali bahwa penangkapan Rendra dilakukan tanpa pemberitahuan kepada DKJ. Sayangnya pula, Ali Sadikin sudah tak lagi menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta saat penangkapan Rendra 1978. Jabatannya berawal 1965 lalu berakhir di tahun 1977.
Asrul menerangkan duduk perkara soal aturan yang berlaku seputar DKJ di hadapan Gubernur. Sayang-disayang, kawan-kawan DKJ tercengang mendengar jawaban tegas Tjokropranolo, gubernur DKI Raya 1977-1982, “Memang saudara-saudara seniman pandai mengkritik dengan tulisan, dengan pertunjukan. Sedangkan kami militer, tak pandai bermain kata-kata, tak pandai mengkritik. Tapi kami punya bedil! Apa jasa Rendra terhadap bangsa dan tanah air! Apa peranannya dalam revolusi 45! Saya biar begini,ikut berjuang mempertahankan proklamasi 17 Agustus. Lihat,” sambil menyingkap lengan bajunya guna memperlihatkan otot di pangkal bahunya. Saya ini masih keturunan Warok Ponorogo!” katanya agak jengkel.
Wajah Asrul mendadak berbeda. Anak kecil yang tak mengerti sekalipun duduk masalahnya, akan mengerti bahwa Om Asrul coba menekan gejolak emosinya. Iravati hanya bisa membisu mendengar tandas sang gubernur. Asrul yang dijagokan, memaksa diri untuk melepaskan kata-kata.
“Memang Rendra tak ikut berjuang pada revolusi 45,” kata Asrul dengan bergetar. “Karena pada waktu itu, dia masih kanak-kanak. Tetapi pengabdian seseorang kepada bangsa dan tanah air kan tak hanya terbatas dalam perjuangan semasa revolusi kemerdekaan saja. dan tidak hanya secara fisik berperang saja. setiap orang dituntut mengabdi kepada bangsa dan tanah air sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing. Dalam hal ini, jasa saudara Rendra dalam bidang kesenian tidaklah kecil…”
Cerita ini dituturkan Ajip Rosidi dalam 2 buku, ‘Asrul Sani, 70 Tahun’ dan ‘Mengenang Hidup Orang lain: Sejumlah Obituari’.
Penulis: Alhafiz Kurniawan