Rabu 20 Oktober 1999, suasana mencekam terjadi di Kota Solo. Kerusuhan dan pembakaran yang dilakukan massa terjadi di beberapa titik, dan puncaknya ketika gedung Balaikota hangus terbakar. Listrik dipadamkan, kota menjadi gelap gulita.
<>
Dari berbagai sumber yang dihimpun, kerusuhan langsung merebak di berbagai tempat begitu dipastikan, Megawati kalah suara dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sementara itu, usai maghrib gerombolan massa rupanya sudah sampai di Jalan Honggowongso. Jumlahnya sekitar ribuan. Mereka terkadang merusak dan membakar beberapa bangunan yang ada di sekitarnya.
Bagi warga Nahdliyyin, hal tersebut tentu menjadi sebuah hal yang cukup mengkhawatirkan. Pasalnya kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Surakarta, terletak di pinggiran jalan tersebut.
“Dari arah selatan, massa mulai mendekati kantor NU,” kenang Komandan Satkorcab Banser Kota Solo, Syamsul, saat ditemui NU Online, Selasa (1/4).
Syamsul bercerita, dirinya bersama dua anggota lain, Giatno (Komandan Banser Solo kala itu) dan Nur Kholis langsung ditugaskan untuk menjaga kantor NU. “Begitu mendengar berita Gus Dur jadi presiden, kami langsung ke kantor NU. Hanya kami bertiga, sebab yang lain masih menjaga kampung masing-masing,” ungkapnya.
Ternyata keberadaan mereka bertiga, cukup ampuh untuk meredam amuk ribuan massa yang sedang kalap itu. Batu-batu mulai berterbangan, terlontar tak beraturan. “Tapi alhamdulillah hanya satu yang mengenai jendela kaca di atas kantor,” terangnya.
Ketika itu praktis, hanya mereka bertiga melawan ribuan massa. Nur Kholis berteriak lantang, ”Opo isih ora terima?!” (apa masih tidak terima?)
Mendengar gertakan tersebut, nyali massa menjadi ciut. Meskipun sebagian masih ada yang belum terima dengan tantangan itu, namun perlahan mereka mulai bergerak, meninggalkan tiga pendekar NU Solo, yang di dalam hati mereka, sebetulnya juga penuh berkecamuk perasaan.
“Yah, menjadi pelajaran untuk kita semua,” pungkas Syamsul singkat. (Ajie Najmuddin)