Saat jarum jam menunjukkan pukul 11.00 WIB perjalanan kereta api Bisnis Fajar Utama jurusan Yogyakarta-Jakarta berhenti di sebuah station kecil tepatnya sebelum stasiun cirebon, kereta ini berhenti lama karena menunggu kereta yang lebih berkelas atau akrab disebut kelas eksekutif. setelah 4 jam berada di kereta kelas bisnis yang cukup membuat tubuh ini letih, saya tertidur dengan kepala bersandar di kaca jendela, tiba-tiba saya terbangun karena dikejutkan suara ketukan kaca jendela dan lamat-lamat terdengar ramai suara anak-anak saling bersahutan.
Kulihat puluhan anak-anak mengelilingi kaca jendela sambil menengadahkan tangan dengan teriakan mengibah “pak, minta amal Pak, bu minta amalnya bu! Secara bersahutan dari gerbong lokomotif sampai ke gerbong paling akhir. Tak dihiraukan
Sengatan terik matahari siang itu membakar tubuhnya.tajamnya kerikil disekitar rel nampak sudah bersahabat dengan kaki mungil mereka yang tak beralas kakinya. Sesekali mereka lari mengejar recehan uang yang dilempar penumpang, wajahnya berseri melihat uang sudah ditangan sambil memasukkan kekantong baju yang sudah kumuh serta robek.
Realitas ini sangat jauh berbeda bila melihat kehidupan anak-anak nun jauh disana, anak-anak dengan seragam rapi berangkat ke sekolah diantar mobil mewah , anak-anak yang tiap harinya disibukkan jadwal kursus komputer, bahasa inggris,kumon,les menari, les renang dan kegiatan lain yang menunjang skill untuk masa depan anak-anak tersebut. Sedangkan mereka yang distasiun tadi?
Persoalan anak sepertinya tak pernah selesai di negeri ini, Kalau di zaman Orde Baru yang konon tingkat pertumbuhan ekonominya sempat mencapai lebih dari delapan persen saja persoalan anak masih diabaikan, bisa dibayangkan apa yang terjadi saat krisis ekonomi yang diikuti dengan krisis multidimensi sejak tahun 1998 melanda bangsa kita ini. Pada perkembangannya walaupun realitas ini sudah berjalan lama tapi jumlah anak-anak jalanan itu tidak malah surut tapi makin bertambah. menurut para pengamat, setidaknya jumlah yang semula diperkirakan "hanya" sekitar 50.000 anak yang tersebar di seluruh kota-kota besar di Indonesia, jumlahnya meningkat menjadi sekitar 125.000, belum di kota kecil lainnya.
Memang Ironis, di negeri yang potensi alamnya berlimpah, para anak jalanan itu dipaksa memahami realitas hidup di negara yang korup dimana biaya pendidikan tinggi apalagi pendidikan berkualitas makin tak terjangkau,biaya kesehatan yang besar, dan beban hidup lainnya.anak-anak itu terpaksa bekerja siang malam di tempat yang mengancam keselamatan mereka, anak-anak yang kekurangan gizi sehingga bakal menjadi lost generation di masa depan. Dimana tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara menyikapi ribuan generasi bangsa ini terlantar tak berdaya.padahal mereka akan hidup pada zaman yang berwatak menindas kaum kecil, dengan jargon globalisasi dunia yang tentu mengandaikan kompetisi dan skill. Bagaimana anak-anak itu sanggup membangun masa depannya sedang saat ini saja mereka harus menanggung hutang negara yang kian menumpuk, naiknya BBM yang membuat mereka menjadi makin sulit.
Pada konteks ini masyarakat harus berani bersikap tegas, tidak akan kompromi atau bersikap zero tolerance terhadap pemerintah yang mengabaikan asset bangsa tersebut. Kalau tidak, sistem negara yang berjalan saat ini secara perlahan akan melarang anak-anak tersebut untuk bermimpi tentang indahnya masa depan. Ya, mereka akan dilarang punya masa depan karena masa depan hanya milik kaum berduit.(alif).