Fragmen

Satu Sisi Kehidupan Kiai Syafi'i Hadzami

Rab, 23 Mei 2012 | 06:15 WIB

Puluhan tamu, tetangga dekat maupun tetangga jauh, santriku atau bukan, menyantap apa saja yang dibawa pulang istri-anakku dari pasar. Alhamdulillah, guru-guruku pun sempat hadir di kediamanku yang tidak bisa dibilang megah.

<>Menjamu hadirin dalam kenduri, bukan keberatan berarti bagi kebanyakan masyarakatku. Dengan dalil agama atau tidak, ini sudah watak.

Dua hari setelahnya, sebagian mereka yang memiliki kesempatan berlebih, mengantarku ke kapal yang mengangkutku ke tanah suci. Terang saja sedikit ramai, maklum di bilangan Jakarta ini aku dianggap guru agama juga oleh mereka.

Segera kusambar tangan mertuaku yang terjulur. Dengan sedikit membungkuk, kucium bolak-balik tangan bapak mertua. “Lu jaga diri baik-baik di sana. Urusan doa dan amalan apa, paham gua mah, lu lebih ngarti dah,” wanti-wanti mertua.

Beberapa patah kata masih melompat sejenak dari mulutnya. Ia mendoakanku dan memohon agar aku mendoakannya kelak di tanah suci. Seingatku, inilah saat paling dekat antara aku dan mertua. Dengan iringan doa mereka dan doaku, aku berlayar.

Sekian lama berlayar, akhirnya kakiku kembali berpijak di timur tengah. Mekkah malam menyuguhkan dingin yang membekukan. Angin tajam menusuk tulang bagai jarum-jarum halus. Kalau tidak terbiasa hidup sederhana, tentu aku sudah kembali ke tanah air. Untung aku tidak sendiri. Aku ada di tengah ratusan ribu orang. Jemaah haji melantunkan apa saja yang sekiranya dapat mendekatkan kepada Tuhan seru sekalian alam. Kalau sudah dekat, entah apa yang mereka harap, bukan menjadi urusanku. Itu semua berpulang kepada hak pribadi masing-masing.

Aku pun demikian. Segala daya kumanfaatkan untuk mengamalkan sunah sesuai dengan waktu dan tempatnya. Inilah panggilan tanah suci untuk kedua kalinya kutunaikan kewajiban haji. Ya, ini tahun 1960-an. Di tengah ratusan ribu, aku laiknya sebutir di keluasan ladang pasir. Aku tidak lebih berharga dari yang lain. Semua memuji kebesaranNya, tidak kecuali aku.

Mumpung di sini pikirku, aku beranjangsana ke kediaman para ulama-ulama ahlussunah di tanah haram. Salah satunya, Syekh Yasin Alfadani. Darinya, aku mendapatkan banyak hal; kitab, ijazah, dan teristimewa doa.

Toko kitab, tidak kuluputkan. Langsung saja kuminta tafsir Alkassyaf, yang selama ini dilarang membacanya oleh Habib Ali bin Husein Alatas, guruku di Cikini. Ya, guruku ini cukup istimewa. Lain dengan kebanyakan habib, penguasaannya terhadap kitab-kitab besar sangat teruji. Kecuali itu, zikirnya tak pernah putus. Bicaranya jangan ditanya, ia pendiam fanatik.

Tetapi memang aku ini santri yang nakal. Apa yang dilarang, malah kukerjakan. Lepas merogoh beberapa rial yang tidak sampai hitungan menit berpindah ke tangan penjaga toko, aku segera menggondol tafsir itu. Aku kembali ke pondok dengan riangnya. Pertama, karena sudah tahallul, artinya aku sudah melepaskan pakaian ihram. Kedua, akhirnya aku sudah memiliki tafsir itu, sekurangnya setengah penasaranku terobati sudah.

Tiba di tanah air, tetangga dan sejumlah santriku membawa pulang sekadarnya oleh-oleh yang kubawa. Barang-barang itu, tak lain adalah barang lazimnya yang dibawa pulang oleh jemaah lain. Bukan barang istimewa sama sekali, selain air zam-zam yang mengandung keberkahan tersendiri.

Sepi dari tamu adalah hal yang kutunggu. Artinya aku dengan kesabaran yang tipis, dapat langsung membuka tas yang berisi tafsir itu. Aku ingin tahu apa sebenarnya pandangan tafsir yang tidak laik kubaca. Aku kaget bukan main. Tafsir yang kubeli melayang entah kemana. Retina mata kulebarkan. Pantatku bergeser dari kursi lalu bertopang di atas kedua kaki. Aku berjongkok lalu menggeledah setiap sisi tas itu.

Apa mau dikata, untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Ingatanku tidak pernah meleset mengingat aku masih muda. Seingatku, kitab itu masih ada saat kembali kuhirup nafas di tanah air. “Karomah guruku memang tidak bisa disangkal,” tandasku dengan melebarkan senyum.

Kilasan KH M. Syafi‘i Hadzami
31 Januari 1931, tepat  5 tahun kelahiran NU, ia terlahir dengan nama Muhammad Syafi‘i dari pasangan bapak M. Saleh Raidi dan ibu Mini. Sementara Hadzami, adalah julukan yang diberikan kiai senior padanya di bawah usia 30 tahunan. Mereka layak memberikannya mengingat ketepatan M. Syafi‘i muda dalam membaca, memahami, dan menjelaskan teks-teks kitab yang pelik.

Di usia yang begitu muda, ia sudah mengasuh banyak majelis taklim di seantero Jakarta. Pengajiannya sempat mengudara di radio Cenderawasih dalam bentuk tanya-jawab agama dengan pendengar seputar permasalahan keseharian masyarakat. Bentuk audionya lalu dibukukan dengan judul Taudhihul Adillah yang terdiri dari 7 jilid.

Ia berguru kepada banyak kiai. Dalam usia muda, ia menjadi kiblat keagamaan masyarakat Jakarta. Referensinya begitu banyak. Sedikitnya 34 almari, memenuhi kediamannya di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan. Karya-karyanya banyak berupa risalah-risalah yang mengupas tematik krusial keagamaan.

Di tahun 2001, ia mendirikan pesantren Ma‘had Aliy Al-arba‘in di halaman rumahnya. Pesantren ini hanya menerima 40 santri setiap angkatannya. Dengan pembatasan santri, ia pikir lebih efektif untuk mencetak kader kiai yang tangguh menguasai khazanah keislaman.

Semasa hidup ia aktif dalam pelbagai organisasi. Di antaranya, ia dipercaya sebagai Rais Syuriah PBNU hasil Muktamar NU ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya 1994. Ia juga pengurus MUI DKI periode 1975-1980, ketua MUI DKI 1980-1985 dan 1985-1990, ketua umum MUI DKI 1990-1995 dan 1995-2000.

Ia wafat tahun 2006 di usia 75-76. Puluhan ribu masyarakat Jakarta khususnya, hadir mengantarkannya ke kediaman terakhir. Pusaranya terletak di dalam rubath, tempatnya mengajar saat hidup, persis di muka rumahnya. Jutaan tangis masyarakat Jakarta mengucur seiring dengan hujan yang turun berbareng dengan hari pemakamannya. Mereka kehilangan salah satu kutub arah keagamaannya. (Al Hafiz Kurniawan)

ADVERTISEMENT BY OPTAD

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Terkait