China Tekan Muslim Uighur, Pasang Bendera di Mihrab
Sabtu, 21 September 2013 | 07:59 WIB
Xinjiang, NU Online
Pemerintah China meningkatkan tekanannya pada Muslim Uighur dengan memasang bendera di mihrab masjid di China Barat, langkah yang dikecam oleh para aktifis sebagai upaya untuk mendapatkan kesetiaan yang teguh kepada Beijing diatas keyakinan mereka.
<>
“Mereka pada intinya mengatakah bahwa bendera itu lebih tinggi dari agama,” kata Ilham Tohti, pembela terkemuka hak-hak Muslim Uighur kepada Al Jazeera Rabu (18/9).
“Mereka menempatkan bendera ditempat yang sangat sensitif dalam masjid.”
Dengan jutaan Muslim yang sholat menghadap ke Ka’bah di Makkah, Tohti mengatakan bahwa hukum dan otoritas China meminta kesetiaan yang teguh kepada Beijing.
Karena itu, dia mengkritik gerakan ini sebagai upaya untuk “mendilusi lingkungan keagamaan” di area, dimana minoritas Uighur seringkali mengeluh represi etnis dan keagamaan.
Otoritas China melakukan pembatasan yang ketat terhadap Muslim Uighur untuk mempraktekkan agamanya. Pembatasan itu meliputi pelarangan wanita Muslimah untuk memakai hijab di tempat publik.
Pihak berwenang juga melarang siswa dibawah usia 18 tahun menjalankan puasa Ramadhan. Pembatasan juga dilakukan pada Muslim yang mencoba beribadah di masjid.
Muslim Uighur merupakan minoritas sebanyak 8 juta yang menggunakan bahasa Turki yang berada di wilayah barat laut Xinjiang.
Xinjiang, yang oleh para aktifis disebut Turkestan timur, telah memiliki otonomi sejak 1955 tetapi terus menjadi subyek penindakan keamanan besar-besaran oleh otoritas China.
Kelompok HAM menuduh pemerintah China melakukan represi agama atas nama kontra terorisme.
Muslim menuduh pemerintah menempatkan jutaan etnis Han dalam wilayah mereka dengan tujuan akhir untuk menghapus identitas dan budaya.
Para analis menilai kebijakan mentransfer suku Han ke Xinjiang merupakan upaya mengkonsolidasikan otoritas Beijing dengan meningkatkan proporsi suku Han dari lima persen pada tahun 1940-an menjadi lebih dari 40 persen sekarang.
Melindungi bisnis
Para analis melihat pembatasan kegiatan keagamaan yang baru ini merupakan upaya Beijing untuk memastikan keamanan bisnisnya bisa menerobos Asia Tengah.
“China membuka hubungan luar negerinya ke Barat,” kata Tohti.
“Mereka berharap tidak ada masalah ketika mereka memperluas pengaruhnya, khususnya di Xinjiang. Mereka khawatir timbulnya bahaya ini.”
Upaya China untuk mengamankan kondisi dalam wilayah ini merupakan kunci dari upaya ekonominya.
Pemerintah Beijing juga melakukan tindakan keras pada Uighur yang oleh mereka disebut separatis.
Akhir Agustus lalu, paling tidak 12 Muslim Uighur dibunuh dalam serangan di Xinjiang barat yang meningkatkan jumlah korban tewas menjadi 34.
Pada April, 21 orang dibunuh dalam bentrokan di bagian Xinjiang yang sangat didominasi oleh etnis Uighur, dekat jalur sutra kuno, kota Kasghar.
Ibukota Xinjiang, Urumqi, juga terjadi kekerasan yang mematikan pada Juli 2009 ketika Muslim Uighur menunjukkan penolakan atas pembatasan yang dilakukan pemerintah di wilayah mereka, paling tidak 184 orang tewas.
Pada hari-hari berikutnya, massa dari etnis Han memenuhi jalanan dan melakukan balas dendam sehingga terjadi kekerasan etnis terburuk yang pernah terjadi di China selama beberapa dekade.
Otoritas China menghukum sekitar 200 orang, sebagian besar orang Uighur, atas kekerasan tersebut dan 26 diantaranya dihukum mati.
Beijing melihat bahwa wilayah Xinjiang yang luas merupakan aset tak ternilai karena lokasi yang sangat strategis dekat Asia Tengah dan memiliki cadangan minyak dan gas yang sangat besar.
Meskipun semua upaya telah dilakukan, Muslim Uighur melihat bahwa China hanya akan berhasil menumbuhkan perdamaian dengan melindungi kebebasan Muslim Uighur.
“Jika China benar-benar percaya bahwa Uighur merupakan bagian dari negara tersebut, maka harus bertanggung jawab pada mereka,” kata Tohti.
“Orang Uighur miskin dan tidak memiliki hak. Pemerintah China harus meningkatkan standar hidup mereka.” (onislam.net/mukafi niam)
Foto: Onislam