Internasional

Warkop di Indonesia, Café di Maroko

Sabtu, 3 November 2012 | 01:50 WIB

Cafe biasanya diartikan tempat untuk menikmati secangkir minuman, kopi, teh, atau jus. Cafe juga terkadang merupakan sumber inspirasi atau  tempat transaksi bisnis dan lobi-lobi.<>

Namun bagi kebanyakan orang di Indonesia, konotasi kafe identik dengan hal-hal yang berbau hura-hura, tempat hiburan kelas atas dengan sajian live music-nya atau tempat 'nongkrong' bagi kelas menengah ke atas. Sehingga bagi kalangan biasa-biasa saja, kafe seolah merupakan kawasan yang 'angker' untuk dijamah.

Kalau kita pernah mencicipi (meski melalui info-info dan liputan video) alam per-kafean beberapa negara Arab semisal Maroko, Tunis, Mesir dan lainnya,  boleh jadi akan lahir sebuah kesimpulan bahwa kafe di negara tersebut tak bedanya dengan warung-warung kopi (Warkop) dalam artian mampu dinikmati segala lapisan masyarakat.

Hal seperti itu juga terjadi di Maroko. Kafe di negara ini hampir menyentuh diberbagai daerah. Baik di jantung kota maupun pinggiran-pinggirannya. Baik ditempat obyek-obyek wisata ataupun tempat-tempat biasa. Bahkan banyak juga kafe yang berderet dipinggir-pinggir jalan hingga lebih dari satu kilo panjang barisannya.

Kafe di Maroko, selain mungkin setingan tempatnya tidak kalah menarik dengan kafe-kafe di Indonesia, sering difungsikan oleh masyarakatnya untuk 'nyantai' dan refresh. Kafe sering juga dibuat sebagai ajang transaksi bisnis, tempat belajar secara kelompok, bahkan sebagai sumber pencari referensi dengan fasilitas wifinya.

Yang menarik dan mungkin bikin 'ngangeni', kafe di Maroko selalu ramai jika ada pertandingan-pertandingan sepakbola. Dengan layar televise yang lebar, ditambah sound yang 'nangkring' disetiap sudutnya menjadikan masyarakat yang kebanyakan pecinta sepakbola betah menikmati jalannya pertandingan dengan 'cuma' modal secangkir kopi atau teh.

Terlebih jika ada partai-partai besar seperti el clasicco (Madrid vs Barca), Derbi Milano (Inter vs Milan) atau partai-partai yang masuk babak knock out (system gugur) sampai final. Kafe menjadi penuh dan gemuruh. Nuansa kebersamaan seakan menenggelamkan kepenatan hidup yang kadang sumpek. Yel-yel sesekali hadir seolah menikmati pertandingan langsung di stadion aslinya. 

Kafe di Maroko pada akhirnya bisa menjadi ajang 'kongkow' dengan bermacam motif dan kebutuhannya. Bisa sebagai wahana refreshing dengan pertandingan-pertandingan sepakbolanya bagi pecinta sepakbola.

Bagi pelajar cafe bisa dijadikan ajang belajar bareng bahkan diskusi. Bisa juga untuk berbisnis bagi pebisnis. Untuk rapat bagi kalangan organisatoris, dan lain sebagainya dan lain seterusnya. Dengan tariff yang terjangkau bahkan murah, Kafe bagaimana kita memanfaatkan dan menikmatinya. (Ali Syahbana/WNI sedang menetap di Maroko/ Red: Anam)


Terkait