Jakarta, NU Online
Direktur INC Ginanjar Sya’ban menilai bahwa disertasi yang ditulis oleh Abdurrahaman Mas’ud Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren adalah perpaduan antara pembahasan jaringan intelektual ulama dan tradisi pesantren.
Dari pembahasan tersebut, ia menambahkan bahwa ada dua karya lain yang terkait dengan bagaimana pesantren itu terbentuk. “Berbicara pesantren bukan hanya melihat karakter, jaringanya, juga yang paling penting adalah kurikulumnya,” paparnya dalam diskusi Islam Nusantara Center di Jl. Bambu Petung, Cipayung, Jakarta Timur, Sabtu (1/12).
Usai membaca karya Abdurrahaman, Ginanjar menyarankan agar membaca juga dua karya lainnya, yakni Shofhat min Tarikh Makkah Al Mukarromah karya Snouck Hurgronje di mana di dalamnya dibahas bagaimana Syekh Nawawi Al-Bantani mengajar di Makkah, siapa murid-muridnya, kitab-kitab apa yang ditulis, dan bagaimana pengaruhnya di Nusantara.
“Karya ini ditulis ketika Snouck berkunjung ke Makkah dan bertemu dengan Syekh Nawawi,” kata penulis buku Maha Karya Islam Nusantara itu.
Dalam buku tersebut digambarkan bahwa Syekh Nawawi adalah sosok yang alim, luhur akhlaknya, serta sosok yang tawadhu’. Snouck mengakui kealimannya, karena pada masa tersebut belum ada ulama dalam dunia Islam yang seproduktif Syekh Nawawi.
“Beliau menulis hampir sembilan puluh karya, hampir semua matan atau teks dasar rujukan Islam di syarakh oleh Syekh Nawawi,” imbuhnya.
Ulama Nusantara lainnya yang dibahas dalam buku tersebut adalah seorang mursyid dari Banten, Syekh Abdul Karim Al-Bantani. Berbeda dengan Syekh Nawawi yang memiliki pengaruh atas ilmunya, Syekh Abdul Karim ini berpengaruh karena perlawanannya terhadap kolonial Belanda.
“Termasuk geger Cilegon 1886, tak lepas dari tokoh Syekh Abdul Karim Al-Bantani, bahkan muridnya merupakan tokoh utama penggerak perlawanan terhadp kolonial Belanda,” jelasnya.
Buku yang ketiga yang dijelaskan oleh Ginanjar adalah Al-Kitab al-Arobiy fi Indunisiy karangan Marti Van Bruinessen, buku ini merupakan karya seorang Belanda yang membahas mengenai bagaimana kurikulum pesantren itu terbentuk di Nusantara.
“Jadi kenapa fiqih itu dimulai dari Safinah As-Sholah, kemudian Safinah An-Najah, naik lagi ke Sulam At-Taufiq, Fathul Qorib, Fathul Mu’in. Kemudian kalau nahwunya kenapa dimulai dari ‘Awamil, naik ke Jurumiyah, lalu ‘Imrithi, Alfiyah dan seterusnya,” paparnya.
Dari ketiga karya tersebut, dimulai dari karya Abdurrahman Mas’ud hingga karya Martin Van Bruinessen, menurut Ginanjar dapat ditelusuri bagaimana pesantren dan ulama itu terbentuk di Nusantara. (Nuri Farikhatin/Muiz)