Tangerang, NU Online
Meskipun haji menjadi kekhawatiran bagi pemerintah Hindia Belanda, namun tidak dilarang karena mendatangkan devisa yang cukup banyak bagi kas mereka. Kekuatan manajerial yang baik membuat mereka bertindak tegas kepada setiap pelanggarnya.
"Menindak tegas siapa-siapa perangkat penyelenggara haji seperti syekh (pembimbing) yang membelot dari ketentuan," kata Johan Wahyudi, dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta saat ditemui NU Online, Selasa (26/3).
Johan ditemui usai mempresentasikan proposalnya pada Annual Conference on Research Proposal (ACRP) 2019 di Hotel Grand Horisson, Serpong, Tangerang, Banten.
Mereka, lanjut Johan, akan dibekukan sertifikatnya oleh pemerintah Hindia Belanda dan tidak lagi menjadi syekh.
Di samping itu, bagi perusahaan yang tidak melapor bawaan jamaah hajinya di konsul Hindia Belanda di setiap singgahnya, bisa dijatuhkan sanksi denda ribuan gulden. Hal itu cukup besar.
Relevansi penelitian yang akan ia lakukan ini dengan konteks kekinian, ia melihat pemerintah saat ini belum bertindak tegas dalam upaya mengentikan praktik penyelenggaraan haji mengingat kelemahan kontrol dan tidak adanya hukuman berat bagi pelaku.
Johan akan lebih memperdalam penelitiannya itu pada perbandingan penyelenggaraan haji di Indonesia dan di Brunei. Pasalnya, sejak dulu, dua negara ini berbeda. Indonesia dijajah oleh Belanda dengan kolonialismenya, sementara Brunei dijajah Inggris seakan menjadi mitra yang berjalan berdampingan.
"Kedudukan orang Inggris di sana lebih kepada partner," jelas Johan. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)