Nasional

Di Era 'Post-Truth', Pemuda Mesti Selalu Kritis terhadap Informasi

Senin, 29 April 2019 | 16:35 WIB

Jakarta, NU Online
Fenomena post-truth (pasca-kebenaran), yakni suatu keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik bila dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi sedang melanda negara-negara di dunia, tak terkecuali Indonesia.

Bahkan dalam pandangan Akademisi Universitas Negeri Jakarta Karuniana Dianta Arfiando Sebayang, fenomena post-truth terlihat di tengah-tengah pesta demokrasi pemilihan umum secara serentak pada 17 April 2019.

"(Post-truth) Itu sudah kelihatan kok dengan banyaknya ujaran kebencian," kata Dianta seusai mengisi acara Talk Show yang diselenggarakan Kopri PB PMII di Hotel MaxOne Jakarta Pusat, Senin (28/4), dengan tajuk "Peace as a Value".

Ia mengemukakan bahwa berdasarkan data yang diterimanya, kebanyakan yang terpengaruh post-truth adalah orang tua dan bukan anak muda. Orang tua, katanya, jika mendapatkan informasi seperti di grup Whatsapp, tanpa berpikir panjang untuk mengonsumsi dan menyebarkannya.

"Orang tua menganggap semua informasi itu bener. Kalau anak muda itu sekarang terbiasa dengan banyak informasi dan pada akhirnya masih proses memilah, jadi gak kagetan," ucapnya.

Namun, pria kelahiran 1980 ini berpesan kepada para pemuda untuk tetap berpikir kritis sehingga dapat memilah antara informasi yang benar dan tidak.

Ia mengatakan, post-truth merupakan salah satu dampak negatif dari media sosial. Seseorang yang mengedepankan emosi daripada fakta objektif atas suatu kasus, membuatnya menjadi menutup diri terhadap kebenaran. 

Meski begitu, ia optimis bahwa bangsa Indonesia akan mampu melewati fase tersebut karena memiliki Bhineka Tunggal Ika. Melalui semboyan tersebut, bangsa Indonesia mampu menerima perbedaan yang ada.

"Saya sangat optimis, bangsa Indonesia itu akan ketemu caranya sendiri untuk kembali kepada asal usulnya, yaitu bangsa yang menerima dan menghargai perbedaan," ucapnya. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)


Terkait