Jakarta, NU Online
Selama ini kebanyakan orang berpandangan hanya anak-anak dari kelompok sosial ekonomi rendah yang bisa mengalami stanting. Faktanya, banyak juga dari kelompok sosial ekonomi tinggi mengidap stanting.
“Secara nasional prevalensi stanting masih tinggi. Angkanya pada kelompok sosial ekonomi tinggi mencapai 29 persen,” kata Direktur Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Kresnawan, pada forum Dialog Nasional Lintas Agama Cegah Stanting di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (14/11).
Kresnawan menyebut, stanting pada kelompok sosial ekonomi tinggi lebih disebabkan karena pola asuh serta pemberian makan bayi dan anak yang kurang tepat.
“Sedangkan pada kelompok sosek rendah lebih disebabkan karena keterbatasan ketersediaan pangan di tingkat keluarga miskin. Angkanya mencapai 48 persen,” lanjut Kresnawan.
Bahaya stanting bukan mengancam anak bangsa saat ini, tetap lebih ke masa depan dan martabat bangsa.
“Karena anak (yang saat ini) stanting, dua puluh lima tahun lagi jadi SDM tidak berkualitas, tidak mampu berkompetisi, padahal jumlahnya banyak sebagai efek bonus demografi,” urai Kresnawan.
Beberapa penyebab stanting di perdesaan antara lain belum optimalnya cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan dasar (imunisasi, ANC, TTD), serta akses terhadap air bersih dan sanitasi yang buruk.
Selama ini bukan tidak ada upaya mencegah stanting di perdesaan. Sayangnya kegiatan tersebut masing-masing berjalan sendiri-sendiri, tidak ada koordinasi antar program/kegiatan.
“Cukup banyak kegiatan sektoral yang ada di desa dapat dimanfaatkan untuk pencegahan stanting,” pungkas Kresnawan. (Kendi Setiawan)