Tangerang Selatan, NU Online
Fatwa bukanlah suatu hukum. Ia tidak mengikat suatu bangsa, masyarakat Indonesia khususnya untuk mengikutinya. Pelanggaran terhadap fatwa tidak bisa ditegakkan oleh polisi mengingat hal itu bukanlah soal pidana.
"Yang mengikat itu vonis," kata Guru Besar Ilmu Hukum Tatanegara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mahfud MD saat menjadi narasumber Seminar Nasional yang mengusung tema Islam dan Konstitusi, Implementasi Ajaran Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jalan Kertamukti, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten, Kamis (22/11).
Fatwa seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK) menurutnya tidak wajib diikuti. Jika putusan itu diikuti, imbuhnya, baik.
Fatwa MUI, lanjut Mahfud, tergolong ke dalam living law. Istilah ini, jelasnya, memiliki dua makna, yakni hukum yang kenyal atau fleksibel sehingga selalu mengikuti perkembangan zaman dan hukum yang ditaati meskipun tidak diberlakukan secara resmi oleh negara.
"Living law dalam pengertian pertama bisa disebut juga living constitution, yakni sebagai konstitusi atau sebagai hukum negara yang tertinggi yang bisa hidup dalam segala perubahan situasi dan perkembangan masyarakat. Hal ini juga bisa berarti living ideology, yakni Pancasila," katanya.
Sementara dalam pengertian kedua, lanjutnya, living law diartikan seperti hukum adat dan hukum Islam dalam peribadatan dan keperdataan tertentu seperti haji, puasa, zakat, ataupun makan daging babi. Jika pun seorang Muslim tidak naik haji atau makan daging babi, negara tidak dapat menjatuhinya sanksi.
"Adanya UU (haji) atau peraturan label halal itu bukan untuk mewajibkan orang pergi naik haji atau untuk melarang orang makan babi sebagai hukum negara melainkan sebagai informasi dalam rangka memproteksi bagi warga negara yang ingin melaksanakan ajaran agamanya dalam peribadatan," katanya.
Lebih lanjut, Mahfud MD menjelaskan bahwa norma terbagi menjadi empat, yakni agama, kesopanan, kesusilaan, dan hukum. Hanya norma terakhir, katanya, yang memiliki sanksi.
"Yang mempunyai sanksi hanya hukum. Yang lain kalau dilanggar gak ada hukumnya," katanya.
Selama hukum agama itu fatwa itu, kata Mahfud, tidak bisa dijadikan hukum. Sebab, menurutnya, fatwa dilaksanakan sendiri sebagai kesadaran.
Sementara itu, hukum had, misalnya, baginya, tidak perlu sama persis dengan apa yang disyariatkan oleh Islam. Yang terpenting adalah nilai substansinya yang masuk.
"Masukkan nilai-nilainya, maqashidussyariah-nya," ujar pria kelahiran Madura, 13 Mei 1957 itu.
Potong tangan bagi pencuri ataupun koruptor itu tidak ada hukumnya di Indonesia. Ada yang meminta diberlakukan hal tersebut demi membuatnya jera. Menurut Mahfud, di Arab juga banyak terjadi pencurian dan korupsi. Padahal hukum tersebut ditegakkan.
Oleh karena itu, penjara, menurutnya, sama saja. Lalu, hal ini pun, katanya, masih ada yang mempertentangkan karena Islam tidak mengenal istilah penjara. Memang, katanya, Islam tidak mengenal hal itu. Tetapi pembuangan di tengah gurun pasir, itu lebih dari sekadar penjara. Ia membiarkan orang itu mati hidup-hidup.
"Jika hal tersebut diterapkan saat ini, yakni dipindahkan selama jangka waktu tertentu di suatu tempat, Singapura, misalnya, itu justru ekowisata," kata Mahfud yang langsung disambut gelak tawa hadirin.
Oleh karena itu, Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2013 itu secara tegas menyatakan bahwa hukum Indonesia sudah baik. Hukum korupsi sudah lebih baik. Bukan sekadar potong tangan yang memungkinkan adanya praktik selanjutnya terlebih adanya tangan palsu. (Syakir NF/Muhammad Faizin)