Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj menceritakan, ada seorang Arab Badui yang baru masuk Islam. Kemudian, Rasulullah meminta Zaid bin Aslam untuk mengajari Badui tersebut untuk membaca Al Quran.
Saat Zaid mengajarinya sampai pada ayat Al-Zalzalah ayat tujuh dan delapan, imbuh Kiai Said, maka orang Badui tersebut memintanya untuk berhenti. Kiai Said menjelaskan, orang Badui tersebut merasa kalau ayat tersebut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka hidup akan aman dan tenteram.
“Ayat ini saja (Al-Zalzalah ayat tujuh dan delapan) kalau betul-betul saya concern, berpegang teguh pada ayat ini, saya dan keluarga saya akan hidup selamat, aman, nyaman, tentram dunia akhirat,” jelas Kiai Said saat memberikan sambutan kunci dalam acara Peluncuran dan Diskusi Buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi di Gedung PBNU, Jakarta, Kamis (23/6).
Menurut dia, isu-isu seperti korupsi, pencuri, pencopet, perompak, menipu, dan manipulasi sudah pernah dibahas oleh Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama (LBM NU).
“Buku ini merupakan tendangan pertama dari Lakpesdam,” tegas Kiai Said.
Pengasuh pesantren Al-Tsaqofah tersebut juga menerangkan dua jenis korupsi menurut Islam. Pertama, korupsi yang merugikan negara.
“Hukumannya (jenis korupsi ini) terserah kebijakan pemerintah,” ungkapnya.
Kedua, korupsi yang membangkrutkan negara. Baginya, hukuman pelaku korupsi yang membangkrutkan dan menghancurkan tatanan ekonomi negara adalah dibunuh, dipotong dua tangan dan kakinya, disalib, dan dibuang ke laut.
“Luar biasa itu, itu Quran itu,” katanya.
Sementara itu, salah satu penulis buku Hifdzil Alim mengungkapkan kalau sejak dahulu Nahdlatul Ulama sudah berperang melawan korupsi.
“Tapi itu tidak terdokumentasi dan ternyata itu tidak sampai ke kiai-kiai kampung. Dan kita harus menyelamatkan itu,” seru Hifdzil.
Maksud dan tujuan awal ditulisnya buku ini, lanjut Hifdzil, adalah untuk membentengi para kiai dan pemilik pesantren agar tidak masuk ke dalam pusaran kasus korupsi.
“Pondok pesantren itu berpotensi dijebak oleh pelaku-pelaku korupsi untuk menerima atau menjadi bagian tindak pidana korupsi. Padahal pondok pesantren tidak memahami sama sekali,” tukasnya. (Ahmad Muchlishon Rochmat/Fathoni)