
Forum Diskusi Kramat: Diplomasi Global NU di Tengah Ketidakpastian Situasi Dunia yang digelar di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025). (Foto: dok. LTN PBNU/Miftah)
Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Ahmad Suaedy menjelaskan posisi NU dalam era disrupsi teknologi dan dehumanisasi yang saat ini sedang terjadi di dunia.
"Pada dasarnya, sekarang ini adalah kesempatan hadirnya satu visi dan ideologi yang dipeluk oleh Nahdlatul Ulama di tengah-tengah perubahan dunia akibat perang, kekerasan, dan sebagainya," ujar Suaedy dalam Forum Diskusi Kramat: Diplomasi Global NU di Tengah Ketidakpastian Situasi Dunia yang digelar di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025).
"NU adalah peradaban Aswaja (ahlussunnah wal jamaah) karena itu NU punya pemikiran dan basisnya sendiri, meskipun tidak selalu bertentangan dengan peradaban yang sedang berlangsung," jelasnya.
Menurutnya, eskalasi konflik yang meningkat di berbagai negara menjadi penanda adanya kecenderungan sistem demokrasi saat ini berpihak pada para penguasa teknologi.
Pendapatnya tersebut dilandasi oleh realita adanya fenomena yang saling bertumbukan antara disrupsi teknologi, sosial, dan agama. Salah satu yang paling berpengaruh adalah adanya disrupsi teknologi yang perkembangannya sangat pesat.
Teknologi dapat mendukung kemudahan seseorang untuk berbuat baik dan sebaliknya juga dapat melancarkan kejahatan oleh berbagai pihak. Tak dapat dipungkiri, kemajuan teknologi juga melatarbelakangi eskalasi dehumanisasi yang melunturkan demokrasi di dunia dengan agenda-agenda para pemilik perusahaan.
"Jadi demokrasi dan kebebasan sekarang ini mengabdi kepada para pemilik perusahaan teknologi, tidak ada lagi demokrasi dan kebebasan yang membela rakyat," tegasnya.
Ia menyebut di tengah situasi dunia yang serba tidak pasti, NU mengambil posisi dengan peradabannya sendiri. Humanitarian Islam (al Islam lil Insaniyah) menjadi sebuah konsep yang ditawarkan oleh NU dalam inisiatif menjaga perdamaian dunia.
"Humanitarian Islam adalah kompetisi antara humanisme sekuler dan humanisme spiritual," ujarnya.
Humanisme sekuler berlangsung di tengah peradaban yang terjadi saat ini. Suaedy memaparkan teori lama yang berkembang menyebut sekulerisme dan agama adalah dua hal yang berseberangan. Sedangkan muncul teori baru (post-humanism) yakni humanisme yang tidak hanya didasarkan pada sekulerisme tetapi juga spiritual seperti agama, tradisi, dan kearifan lokal.
"Jadi, NU melalui Humanitarian Islam itu sedang memperkenalkan secara teoretik apa yang disebut sebagai post-humanism," ujarnya.
Ia mengulas kembali beberapa langkah yang ditempuh oleh NU sebagai upaya menawarkan konsep Humanitarian Islam sebagai sebuah solusi dari berbagai problematika geopolitik. Inisiatif-inisiatif tersebut antara lain; R20 (Bali, tahun 2022), R20 ISORA (Jakarta, 2023), dan International Conference of Humanitarian Islam (2024).
Senada, Direktur Prodi Hubungan Internasional Universitas Paramadina Muhammad Khoerul Umam menyebut agama tidak bisa dipisahkan dari hubungan internasional negara-negara, terlebih dalam aspek politis.
"Ada kecenderungan dalam studi international politics itu untuk mengesampingkan agama. Faktanya studi Hubungan Internasional (HI) termasuk international politics itu tidak terlepas dari yang namanya agama," terangnya.
Ia menambahkan, "bahkan, HI itu pun pertama lahir dari diskursus dinamika perdebatan tentang agama di ruang publik."
Berkaitan dengan konteks Humanitarian Islam yang ditawarkan Nahdlatul Ulama, Umam menyebut konsep ini mungkin akan sangat terasa pengaruhnya dalam eskalasi situasi tertentu.
"Isu Humanitarian Islam, kemanusiaan, dalam situasi umum akan terasa biasa tetapi dalam suatu eskalasi tertentu (Humanitarian Islam) akan menjadi hal yang harus diikhtiarkan," jelasnya.
Forum Diskusi Kramat merupakan forum diskusi rutin yang diselenggarakan setiap Jumat di Plaza Lantai 1 Gedung PBNU, Jakarta Pusat. Diskusi ini melibatkan pakar, akademisi, serta masyarakat umum.