Nasional

Kampanye Pengurangan Resiko Bencana melalui Khutbah

Rabu, 27 Maret 2019 | 19:00 WIB

Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama (NU) dikenal sebagai organisasi masyarakat Muslim terbesar di Indonesia, sudah berdiri sejak 1926. Komitmen dan keterlibatan NU dalam hal bencana melalui lembaga yang pada awalnya disebut Community-Based Disaster Risk Management (CBDRM) tahun 2005, kemudian terus berkembang dengan berbagai aktivitasnya. Pada tahun 2010 dalam Muktamar PBNU di Makassar CBDRM resmi di bawah PBNU yang disebut Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama. Hingga saat ini pengurusnya sudah ada di tingkat provinsi dan kabupaten kota seluruh Indonesia. 

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Riset dan Pengembangan LPBI NU Abdul Jamil Wahab pada acara Lokakarya Internasional yang diadakan oleh Adventist Development and Relief Agency Indonesia (ADRA) di Hotel Akmani, Jakarta, Rabu (27/3).

"LPBI NU secara visi, karena memang mayoritas masyarakat Indonesia adalah bisa dikatakan nahdaltul ulama, maka ketika ada bencana yang menjadi korban adalah masyarakat nahdlatul ulama. Maka di sinilah LPBI NU punya kepentingan untuk bagaimana masyarakat mempunyai kapasitas yang memadai dalam menghadapi bencana, karena Indonesia dalam sejarahnya adalah merupakan wilayah yang potensial untuk terjadi berbagai macam bencana," kata Jamil sapaan akrabnya.

Perubahan iklim dan penanggulangan bencana atau bencana itu sendiri yang sifatnya berulang, perubahan iklim bisa menimbulkan bencana begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu LPBI NU kemudian berkomitmen kepada dua isu, yaitu penanggulangan bencana dan perubahan iklim.

“Yang paling strategis adalah bagaimana kita meningkatkan kapasitas masyarakat dalam hal bencana untuk mempunyai kemampuan dalam penanggulangan bencana. Ini yang saya kira menjadi visi dan misi dan strategi yang dilakukan LPBI NU," katanya

Jamil mengungkapkan bahwa tema yang disampaikan panitia adalah bagaimana LPBI NU mengkhutbahkan peningkatan kapasitas masyarakat dalam isu penanggulangan bencana. Maka ada beberapa program LPBI NU yang sudah dilakukan. 

"Yang pertama, sejak 2006 ada Pesantren Based Disaster Risk Management (PBDRM), karena ada istilah kalau NU itu sebagai organisasi besar maka pesantren itu adalah NU kecilnya, jadi kalau ingin memahami NU yang tadi sudah terbentuk wilayah dan cabangnya di seluruh Indonesia bahkan cabang istimewa di luar negeri itu besar sekali. Maka kalau ingin memahami karakteristik NU sebetulnya bisa memahami dari hal yang kecil yaitu bagaimana sebuah pesantren itu, jadi pesantren itulah NU kecil, dan tentunya dari pesantrenlah dilakukan pemberdayaan terhadap masyarakat, baik itu dalam asset pendidikan agama, pendidikan umum, pembangunan ekonomi dan sebagainya," paparnya.

Jamil melanjutkan, sejak tahun 2006 itu ada tiga pesantren besar yang dijadikan mitra oleh LPBI NU, yaitu Pesanttren Asshiddiqiyah di Jakarta, kemudian Darussalam di Watucongol Magelang, dan Nurul Islam di Jember.

"Tiga pesantren itu yang pertama kami latih sekitar 170 fasilitator, kanapa begitu banyak? Karena kita akan memberdayakan masyarakat dalam menyadarkan tentang pentingnya upaya penanggulangan bencana yang mana paradigmanya tidak lagi responsive tapi berparadigma pencegahan di sekitar pesantren yang kira-kira ada lima atau tujuh kecamatan. Dari 170 fasilitator yang kita bina, maka masing-masing dari mereka kemudian melakukan pemberdayaan terhadap komunitas yang ada di lingkungan pesantren itu," tegasnya.

Peningkatan tokoh agama dalam pelestarian lingkungan, menurutnya adalah isu yang strategis dan efektif, karena di enam wilayah sudah diakukan yaitu Manado, Bunaken, Pekalongan, Garut, Banjar Baru Kalsel, Pangkal Pinang diundang tokoh-tokoh agama dari seluruh agama. Lalu para tokoh agama dibekali dengan metode fact action research.

Jamil juga menyebutkan yang saat ini sedang gencar dilakukan adalah program pengelolaan sampah berbasis komunitas yang diberi nama Bank Sampah Nusantara (BSN). Sejak tahun 2016 hingga kini sudah memiliki cabang-cabang di berbagai daerah di Indonesia. Melalui program ini masyarakat diajak melalui pendekatan keagamaan, karena pendekatan keagamaan ini merupakan pendekatan yang paling efektif. 

Dalam kesimpulannya, Jamil mengatakan bahwa program ini tidak hanya mengenalkan bagaimana pengelolaan sampah tapi juga meyaakinkan masyarakat bahwa pengelolaan sampah adalah bagian yang juga sangat penting dari nilai-nilai agama, an-nazhaafatu minal iimaan. Artinya kebersihan sebagian dari iman. Konsep tersebut tidak hanya sebatas jargon, tapi bagaimana mengajak masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya, memilah dan mengumpulkan kemudian diolah sampah itu menjadi barang yang bermanfaat.

Dalam forum yang bertema International Workshop On Community Resilience 2019 tersebut, Jamil merupakan salah seorang pembicara mewakili LPBI NU yang diminta untuk memaparkan ketangguhan lewat dakwah atau khutbah pengurangan risiko bencana (PRB). (Red: Kendi Setiawan)





Terkait