Nasional

Mudik? Begini Aturan Shalat Jamak Qashar saat di Kampung Halaman

Rab, 19 April 2023 | 10:00 WIB

Mudik? Begini Aturan Shalat Jamak Qashar saat di Kampung Halaman

Ilustrasi shalat jamak dan qashar. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Para pemudik pada Idul Fitri 1444 Hijriyah 2023 sebagian sudah mulai melakukan perjalanan ke kampung halaman demi menghindari kemacetan. Dan kepadatan diperkirakan akan naik drastis pada 18- 19 April 2023.


Saat melakukan perjalan dalam rangka mudik, sudah seharusnya tetap menjaga ibadah, yakni shalat maktubah. Apalagi kalau sesuai ketentuan minimal jarak yang ditempuh, maka akan mendapatkan rukhshah atau dispensasi yakni jamak dan qashar. 

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Lantas, bagaimanakah hukum shalat jamak qashar saat berada di kampung halaman?Apakah status pemudik adalah sebagai musafir atau masih disebut sebagai mustauthin?


Di dalam artikel NU Online berjudul Mudik, Bolehkah Shalat Jama’ Qashar di Kampung Halaman? dijelaskan sebelum membahas hukum mengerjakan shalat jama' qashar perlu memahami terlebih dahulu pengertian masing-masing dari dua istilah  muqim dan mustauthin. 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Sebab, jika ternyata kampung halaman seseorang tetap distatuskan sebagai tempat tinggal meskipun setelah pindah rumah, maka ia berstatus sebagai mustauthin. Namun jika ternyata tidak, maka ia menetap di kampung halaman hanya berstatus muqim. 


Lantas manakah dari dua kemungkinan tersebut yang dibenarkan secara fiqih? Untuk menjawabnya mari simak pengertian dari kedua istilah ini:   

ADVERTISEMENT BY OPTAD


ضابط المقيم هو الذي نوى الإقامة في بلد أربعة أيام فأكثر غير يومي الدخول والخروج وفي نيته الرجوع لوطنه ولو بعد زمن طويل. ضابط المستوطن هو الذي لا يظعن {لا يسافر} صيفا ولا شتاء إلا لحاجة  


“Batasan seseorang disebut muqim adalah orang yang niat menetap di suatu tempat selama masa empat hari atau lebih, selain hari ketika dia sampai dan hari ketika dia pulang, serta terdapat niatan untuk kembali lagi di tempat tinggalnya, meskipun setelah jeda waktu yang lama. Batasan seseorang disebut mustauthin adalah orang yang (menetap di suatu tempat) tidak bepergian, baik di musim panas ataupun di musim dingin, kecuali ada hajat.” (Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf, at-Taqrirat as-Sadidah, hal. 324).  

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Berdasarkan pengertian di atas, sebenarnya mustauthin lebih menitikberatkan pada tempat tinggal saat ini daripada kampung halaman yang dahulu pernah dijadikan tempat tinggal. Sehingga ketika seseorang memutuskan untuk berpindah tempat tinggal di suatu tempat yang baru dan berencana tidak kembali tinggal di tempat yang awal, maka ia hanya dapat disebut mustauthin di tempat tinggalnya yang baru, tidak pada tempat tinggalnya yang awal. 


Kesmipulan ini berdasarkan referensi dari kitab Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj:   


والمستوطن هنا من ( لا يظعن شتاء ولا صيفا إلا لحاجة ) كتجارة وزيارة فلا تنعقد بغير المتوطن كمن أقام على عزم عوده إلى وطنه بعد مدة ولو طويلة كالمتفقهة والتجار. وأفهم قوله على عزم عوده أن من عزم على عدم العود انعقدت منه لأنها صارت وطنه

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


“Yang dimaksud Mustauthin pada bab ini (Shalat Jum’at) adalah orang yang tidak bepergian baik pada musim dingin ataupun musim panas kecuali karena suatu hajat. Seperti berdagang dan ziarah. Maka orang yang tidak menetap permanen tidak dapat mengesahkan shalat jum’at, seperti orang yang menetap di suatu tempat dengan rencana akan kembali ke tempat tinggalnya setelah jeda waktu, meskipun jeda waktu yang lama. Seperti orang yang menuntut ilmu dan pedagang. Ucapan “Berencana akan kembali” memberikan pemahaman bahwa orang yang bertekad tidak kembali (ke kampung halaman) maka ia dapat mengesahkan shalat jum’at (di tempat yang baru), sebab tempat tersebut telah menjadi tempat tinggalnya.” (Syihabuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Juz 7, Hal. 39-40)


Artinya, ketika berstatus sebagai orang yang muqim di suatu tempat, maka seseorang sudah tidak boleh menjamak dan mengqashar shalatnya ketika keperluannya (hajat) di tempat tersebut lebih dari empat hari (tanpa menghitung hari saat ia datang dan saat ia pulang). 


Berbeda halnya ketika keperluannya selesai kurang dari empat hari, maka ia tetap boleh untuk menjamak dan mengqashar shalatnya, selama tidak sampai melewati empat hari dan selama ia tidak niat iqamah (menetap/tinggal) di tempat tersebut. (Syekh Abu Bakar Muhammad Syatha, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 2, hal. 116).


Kontributor: Suci Amaliyah

Editor: Fathoni Ahmad

ADVERTISEMENT BY ANYMIND