Nasional

Peneliti: Masjid Kajen adalah Pusat Peradaban

Kamis, 26 Oktober 2017 | 15:01 WIB

Peneliti: Masjid Kajen adalah Pusat Peradaban

Masjid Jami Kajen (foto: pim).

Bogor, NU Online
Peneliti Novita Siswayanti memilih Masjid Jami Kajen sebagai objek kajiannya dikarenakan masjid tersebut memiliki beberapa keunikan. Pertama, kegiatannya merupakan hasil akulturasi dengan budaya lokal. 

"Aktivitas ritual keagamaannya merupakan akulturasi setempat," kata Novi usai presentasi hasil penelitiannya di acara Seminar Hasil Penelitian Rumah Ibadah Bersejarah di Hotel D'Anaya Bogor, Selasa (24/10) malam.

Novi menyebutkan, selain sebagai tempat ibadah Masjid Jami Kajen juga memiliki banyak peran lainnya; pertama, sebagai tempat berdoa bersama. Seperti tradisi tahlilan dan yasinan pada acara Haul KH Ahmad Mutamakkin setiap tanggal 9 Muharam, pembacaan surat Yasin diiringi dengan istigatsah dan barzanji setiap malam nisfu Sya'ban.

"Dan setiap malam Jumatnya diadakan pembacaan Maulid Nabi Muhammad atau barzanji," ujarnya.

Kedua, sebagai tempat menuntut ilmu. Masjid Jami Kajen menyelenggarakan kajian kitab kuning Irsyadul 'Ibad setiap Selasa malam, pengajian khusus bapak-bapak Kamis pagi dan ibu-ibu setiap Ahad pagi.

"Setiap Ramadhan setelah salat Subuh dan Asar secara bergantian diadakan kajian kitab Bulughul Maram, Nasaihul Ibad, Tafsir Jalalain, Riyadus Salihin, atau Aqidatul Awan," terangnya.

Ketiga, sebagai tempat dimana tradisi dijaga dan dilestarikam seperti khutbah Jumat dengan bahasa Arab dan ngaji kilatan pada bulan Ramadhan. 

Keempat, sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan sosial dan kemasyarakatan. Seperti santunan fakir miskin, anak yatim, dan dluafa, serta sunatan massal.

"Sunatan massal sudah ada sejak masa Syekh Mutamakkin (pendiri masjid)," terangnya.

Kelima, sebagai wadah perajut kerukunan dan penguat ukhuwah Islamiyah. Kegiatan keagamaan dan sosial yang diselenggarakan di Masjid Jami Kajen secara tidak langsung merupakan media silaturahim untuk merajut kerukunan dan memperkuat persaudaraan masyarakat.

Keenam, sebagai pusat pelestarian kebudayaan. Diantara tradisi dan budaya yang dilestarikan di Masjid Jami Kajen adalah megengan dan suronan.

Ketujuh, sebagai tempat pelaksanaan tradisi Selamatan atau Kenduri seperti acara megengan tiap tanggal 25 Sya'ban, bancaan, kenduri ingkung ayam utuh, dan lainnya.

"Hal ini menunjukkan bersatu dan padunya antara masyarakat dan para tokoh kiai setempat," urainya.

Bangunan yang sarat makna

Kedua, arsitek bangunannya. Novi menjelaskan, alasan menjadikan Masjid Jami Kajen sebagai objek kajian adalah karena masjid tersebut memiliki keunikan dalam arsitek bangunannya. 

"Yang diprakarsai pendirinya Syekh Ahmad Mutamakkin yang sarat akan filosofi," ucapnya.

Mimbar, daerah langit-langit, dan papan bersurat merupakan ornamen Masjid Jami Kajen yang memiliki nilai filosofis tinggi. Ornamen pada pengimaman atau mimbar memuat simbolisasi nasihat dab pesan Syekh Mutamakkin.

"Di situ ada tulisan sing pendhitku ngusap ingin mbun bermakna pesan agar tawadlu dalam mencari ilmu, melestarikan apa sudah diajarkan oleh para guru, dan menjadi pemimpin bagi umatnya," jelasnya.

Ornamen ular pada mimbar merupakan simbol riyadlah, yakni belajar belajar dari ular soal menahan diri dari rasa lapar atau keinginan hawa nafsu. 

Sedangkan, ukiran bunga yang digambarkan prosesnya dari tunas hingga mekar memiliki makna bahwa proses perjalanan hidup orang terus bergerak dan kadangkala menemui jalan yang terjal, namun harus tetap berpegang teguh pada ajaran Islam.

Masjid Jami Kajen didirikan pada tahun 1695 M oleh Syekh Ahmad Mutamakkin. Masjid ini sudah empat kali mengalami pemugaran: tahun 1910 pada masa KH Ali Mukhtar, tahun 1952 masa KH Abdussalam, tahun 1999 pada masa KH Nawawi, dan tahun 2010 pada masa KH Muadz Thohir. Meski demikian, pemugaran tersebut tidak merubah sama sekali bangunan utama masjid. (Muchlishon Rochmat/Fathoni)


Terkait