Jakarta, NU Online
Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta Saiful Umam mengatakan, perusakan sedekah laut di Bantul beberapa waktu lalu menunjukkan peningkatan pemahaman keagamaan yang literer.
“Pemahaman keagamaan yang tidak menghormati budaya, pemahaman keagamaan yang kaku terus meningkat di masyarakat Indonesia,” kata Umam saat dihubungi NU Online, Senin (15/10).
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta ini menambahkan, kejadian itu juga menunjukkan bahwa intoleransi di kalangan umat Islam terhadap mereka yang berbeda –baik sesama umat Islam atau di luarnya- mengalami peningkatan. Maksudnya, mereka tidak membiarkan atau membolehkan kelompok lain yang berbeda menjalankan apa yang diyakininya.
“Sebagian umat Islam itu semakin intoleran terhadap mereka yang berbeda,” tegasnya.
Dia menyebut, sebetulnya Indonesia memiliki pengalaman terkait hal ini. Ada sekelompok umat Islam yang melarang dan mengharamkan budaya setempat seperti ziarah kubur, yasinan, tahlilan, dan lainnya karena alasan musyrik, bid’ah, atau pun khurafat.
“Mereka menganggap ini tidak memiliki dasar dan syirik. Mereka menganggap bahwa misalnya ziarah kubur itu meminta berkah kepada orang meninggal, mereka tidak paham bahwa ziarah kubur itu tidak seperti itu,” jelasnya.
Lulusan Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen Pati ini menduga, apa yang terjadi dalam peristiwa perusakan sedekah laut di Bantul disebabkan karena faktor yang sama. Yaitu mereka tidak tahu atau paham sedekah laut. Yang lebih parah, mereka menganggap sedekah laut bertentangan dengan Islam.
“Mereka tidak tahu bahwa sedekah laut dan sedekah bumi yang dilakukan di beberapa daerah adalah adat budaya di Jawa yang sudah diwanai dengan ajaran Islam atau sudah diislamkan,” urainya.
Doktor lulusan Universitas Hawai ini menuturkan bahwa proses islamisasi di Nusantara berlangsung dalam waktu yang lama, dengan cara yang bermacam-macam. Salah satunya adalah dengan mengisi budaya setempat dengan nilai-nilai Islam. Menurutnya, mereka yang memahami agama secara harfiah tidak menyadari kalau budaya-budaya itu sudah diislamisasi.
“Yang memprihatinkan adalah kalau dulu perdebatannya hanya sebatas wacana, sekarang lebih tragis karena disertai dengan pengrusakan,” jelasnya.
Baginya, tidak menjadi masalah jika mereka menyerukan kepada umat untuk menjalankan agama Islam tanpa kekerasan. Namun hal itu menjadi soal kalau hal itu disertai dengan kekerasan.
Ia mengingatkan agar intoleransi harus dikelola dengan baik. Mengapa? Karena intoleransi dapat merusak sendi-sendi kebangsaan Indonesia yang penduduknya majemuk dan berbeda-beda, baik agama, budaya, etnis, dan bahasa.
“Ini yang harus diperhatikan semua pihak. Ini tidak hanya kasus lokal yang harus disikapi lokal, tapi ini menjadi alarming bahwa perilaku intoleransi di kalangan masyarakat kita terus menunjukkan peningkatan,” jelasnya.
Merujuk survei yang dilakukan PPIM 2017 lalu, sebanyak 51,1 persen siswa/mahasiswa yang menjadi responden memiliki opini intoleran terhadap aliran Islam minoritas tertentu seperti Ahmadiyah dan Syiah. Sementara, 34,3 persen responden yang sama dilaporkan memiliki opini intoleransi terhadap kelompok agama lain.
Survei ini melibatkan 2181 sampel di 34 provinsi dan 68 kabupaten kota. Sampel tersebut terbagi atas empat kategori: 264 guru, 58 dosen, 1522 siswa, dan 337 mahasiswa. Semua responden dalam survei ini adalah penganut agama Islam. Survei dilakukan dari tanggal 1 September hingga 7 Oktober 2017. (Muchlishon)