Pesantren Vokasi Sarbumusi Jadi Alternatif Perlindungan dan Pemberdayaan Buruh Migran
Jumat, 8 Agustus 2025 | 13:45 WIB
Jakarta, NU Online
Di tengah dominasi peran swasta dalam penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI), Federasi Buruh Migran Nusantara (F-Buminu) Sarikat Buruh Mualimin Indonesia (Sarbumusi) membentuk model pelatihan berbasis pesantren sebagai respons terhadap lemahnya perlindungan negara terhadap buruh migran. Program ini dilaksanakan melalui Balai Latihan Kerja Komunitas (BLKK) di Pondok Pesantren Uluumul Huda Al-Musri’i, Cilembu, Sumedang.
BLKK ini membuka pelatihan bahasa asing di antaranya Jepang, Korea, Jerman, Inggris, Arab, dan Mandarin dengan menyasar calon buruh migran dari kalangan muda. Fokus program ini tidak hanya pada keterampilan bahasa, melainkan juga penguatan mental, keagamaan, dan kedisiplinan pesantren sebagai upaya pembekalan menyeluruh sebelum keberangkatan ke luar negeri.
Ketua Umum PP F-Buminu Sarbumusi Ali Nurdin menilai, negara telah terlalu lama menyerahkan nasib buruh migran ke tangan swasta.
"Jika perlindungan diserahkan pada pedagang, maka nyawa manusia hanya akan menjadi komoditas," ujar Ali Nurdin, kepada NU Online, Jumat (8/8/2025).
Menurutnya, perusahaan penempatan (P3MI) selama ini lebih berorientasi pada keuntungan daripada perlindungan. Ia menyebut sejumlah praktik bermasalah yang terus berulang, mulai dari pemalsuan dokumen, pemotongan gaji, hingga pengabaian terhadap perlindungan hukum.
"Ketika seorang PMI diperlakukan seperti barang dagangan di negeri orang, P3MI sering kali lepas tangan," kata Ali Nurdin.
Ia juga mendesak agar tata kelola penempatan PMI diambil alih sepenuhnya oleh negara. Menurut Ali, rakyat adalah bagian dari entitas negara yang tidak sepatutnya diserahkan ke tangan swasta. Ia menilai hal tersebut bertentangan dengan prinsip dasar kontrak sosial yang menjadi dasar eksistensi negara.
"Indonesia bukan korporasi, dan PMI bukan barang dagangan. Negara harus hadir bukan hanya dalam regulasi, tetapi juga dalam operasionalisasi. Biarkan negara yang menentukan, menyeleksi, dan mengirim PMI dengan jaminan perlindungan mutlak," ujarnya.
Melalui pendekatan pesantren vokasi, calon pekerja migran dibekali keterampilan bahasa, pendidikan agama, ketahanan mental, dan nilai-nilai spiritual. Model ini dikembangkan untuk menghindari ketergantungan pada pelatihan-pelatihan teknis yang bersifat instan dan kurang mempersiapkan pekerja secara holistik.
Program ini juga mendorong pembentukan kelompok pengajian bagi PMI di negara penempatan melalui gerakan Pekerja Migran Mengaji. Kegiatan ini dilakukan secara daring maupun luring, dan berfungsi sebagai wadah konsolidasi keagamaan, konseling, serta pertolongan pertama dalam kasus-kasus krisis.
Ali menilai pendekatan ini perlu mendapat perhatian lebih dari negara. Sebab PMI bukan hanya penyumbang devisa, tapi juga representasi martabat bangsa.
"Kita tidak bisa terus membiarkan mereka hanya sebagai objek ekonomi tanpa perlindungan yang bermakna," tegasnya.