Nasional

Presiden Prabowo Lontarkan Istilah Serakahnomics, Begini Kata Pakar Linguistik

Sabtu, 26 Juli 2025 | 17:00 WIB

Presiden Prabowo Lontarkan Istilah Serakahnomics, Begini Kata Pakar Linguistik

Pakar Linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Fariz Alnizar. (Foto: dok. pribadi)

Jakarta, NU Online

Presiden Prabowo Subianto melontarkan istilah "serakahnomics" untuk menyoroti penyimpangan yang terjadi akibat keserakahan dalam pengelolaan sektor pangan. Hal itu disampaikannya saat Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-27 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta Pusat, pada Rabu (23/7/2025) lalu.


Mengutip laman resmi presidenri.go.id, sektor pangan seperti beras, jagung, dan minyak goreng, menurut Prabowo merupakan kebutuhan pokok rakyat yang tidak boleh dikuasai oleh mekanisme pasar semata. Bahkan, Prabowo telah mengusulkan istilah baru yakni “serakahnomics” untuk menggambarkan fenomena penyimpangan yang terjadi akibat keserakahan sejumlah oknum.


Pakar Linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Fariz Alnizar, mengatakan bahwa istilah yang digunakan Presiden Prabowo merupakan hasil kreativitas berbahasa yang menggabungkan kata 'serakah' dan 'economics'.


Baginya, secara linguistik istilah serakahnomics termasuk dalam kategori neologisme karena merupakan kata baru yang lahir dari kebutuhan ekspresif untuk menjelaskan fenomena sosial-politik secara spesifik.


"Yang secara eksplisit mengkritik praktik ekonomi yang didasarkan pada sikap serakah," kata Fariz saat dihubungi NU Online pada Sabtu (26/7/2025).


Menurutnya, penciptaan istilah ini merupakan strategi retoris berupa kalimat tanya yang tidak memerlukan jawaban, karena jawabannya sudah jelas atau tersirat dalam pertanyaan itu sendiri. 


Dalam konteks politik, lanjutnya, strategi ini bertujuan untuk menyoroti sisi negatif praktik tersebut secara ringkas dan tajam, sekaligus membingkai wacana ekonomi dengan konotasi moral yang kuat. 


“Serakahnomics tidak hanya berfungsi sebagai label, tetapi juga sebagai alat framing yang membentuk persepsi publik terhadap praktik ekonomi yang dianggap eksploitatif dan merugikan masyarakat luas," kata penulis buku Kekerasan Linguistik ini.


Selain itu, lanjutnya, istilah ini juga mengandung unsur disfemisme, karena penggunaan kata serakah membawa muatan nilai negatif yang keras. 


"Oleh karena itu, istilah ini bukanlah eufemisme, yang biasanya berfungsi melembutkan makna, melainkan istilah yang mempertegas dan memperkuat sikap negatif," katanya.


Ia menilai, efek linguistik dari istilah ini adalah membentuk sikap publik yang kritis dan waspada praktik ekonomi yang dianggap tidak adil.


"Sekaligus meningkatkan daya tarik retoris dalam wacana politik dengan bahasa yang mudah diingat dan penuh muatan emosional," terang Fariz.