Nasional

Rais Aam PBNU Sebut Dua Kategori Pemudik

Jumat, 31 Mei 2019 | 11:00 WIB

Jakarta, NU Online 
Rais Aam PBNU KH MIftachul Akhyar menyebut dua kriteria pemudik. Dua kriteria tersebut diambil dari bahasa Arab yang bunyinya dengan kata mudik yaitu adhaa dan adha’a, yang satu berakhiran dengan huruf hamzah, yang satu lagi dengan ‘ain. 

“Kepada Mukminin-mukminat, Muslimin-Muslimat, Nahdliyin dan Nahdliyat, shaimin-shaimat, saya ucapakan selamat mudik, semoga selamat sampai tujuan,” katanya di Gedung PBNU, Jakarta, Kamis (30/5), sebelum menjelaskan dua kategori pemudik tersebut.

Kiai asal Surabaya, Jawa Timur ini kemudian men-tashrif-nya, adhaa-yudhiu. Jika huruf terakhirnya menggunakan 'ain, berarti menyia-nyiakan. Dengan demikian, mudik kategori ini adalah melakukan perbuatan yang sia-sia di perjalanan atau saat tiba di kampung halaman. 

Karena kerja di Jakarta lama, kemudian mudik, hartanya dihabiskan di kampung dengan cara foya-foya, bersenang-senang, unjuk atau pamer kekayaan dan ingin dipuji orang lain," katanya.

Sementara adhaa yang kedua, yang berakhir huruf hamzah, berarti menerangi. Dengan demikian, pemudik kategori ini dari perantauannya, ia membawa kebaikan untuk kampung halamannya, menularkan cahaya bagi saudara, tetangga-tetangganya, sahabat-sahabatnya dengan ilmu atau keahlian atau peluang yang didapat dan dikuasainya.

Kalaupun ia memiliki harta, digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan atau disumbangkan kepada pembangunan sarana ibadah, pendidikan dan fasilitas umum yang bermanfaat. 

Sebelumnya ia juga mengingatkan bahwa tiap bulan suci Ramadhan selalu ada lailatul qadar, yaitu suatu malam yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan. Artinya seribu adalah sarat atau penuh dengan kebaikan. 

Istilah seribu, kata dia, dalam tradisi masyarakat Arab mengacu kepada sesuatu yang jumlahnya banyak atau tidak terhitung. 

“Kebiasaan orang Arab waktu itu sering menyebutkan atau menunjukkan sesuatu yang tak terhingga dengan bilangan alf yang artinya seribu.

Menurut Kiai Miftach, untuk meraih lailatul qadar, seseorang harus mempersiapkannya sejak jauh hari, bukan dimulai dari akhir bulan Ramadhan. Bahkan, menurut dia, persiapannya dilakukan dari awal bulan puasa, enam bulan sebelumnya, dari awal Syawal tahun lalu, dan bahkan sepanjang usia. (Abdullah Alawi)
 


Terkait