Jakarta, NU Online
Menguatnya praktik militerisme dalam pemerintahan Indonesia era Presiden Prabowo Subianto bukan hanya mencerminkan arah kebijakan negara, tetapi juga menyingkap persoalan yang lebih dalam yaitu budaya masyarakat yang masih memuja model kepemimpinan militeristik.
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) 2017-2022 Universitas Gadjah Mada Muhammad Najib Azca, tantangan utama masyarakat sipil saat ini adalah mendobrak anggapan bahwa hanya militer yang mampu membawa kedisiplinan dan efektivitas dalam birokrasi dan pemerintahan.
"Masalah terbesar justru bukan hanya ada di pemerintahan, tapi juga di masyarakat kita yang masih tinggi tingkat militersimenya. Cara kerja militer masih dianggap superior oleh banyak warga sipil,” ujar Najib kepada NU Online pada Kamis (26/6/2025).
Survei dari Kompas yang dirujuk Najib menunjukkan bahwa sebagian dari masyarakat Indonesia menyetujui keterlibatan militer dalam layanan sipil. Dukungan ini menandakan masih kuatnya romantisme terhadap figur militer di mata publik. Dalam situasi ini, upaya untuk menjaga supremasi sipil menjadi semakin berat.
Normalisasi militerisme, ancaman bagi demokrasi
Najib menyatakan kekhawatirannya bahwa gaya kerja militeristik yang kini diadopsi dalam pemerintahan dapat berdampak buruk terhadap kualitas demokrasi. Terutama jika yang diambil bukan etos kerja militer seperti disiplin dan kerja cepat, melainkan sifat represif dan non-dialogisnya.
“Bahaya dari militerisme bukan semata penggunaan kekerasan fisik, tapi juga cara pikir yang otoriter. Ini bisa membatasi partisipasi publik, menekan kebebasan berekspresi, dan melemahkan lembaga-lembaga demokrasi," jelasnya.
Program retret pejabat sipil yang digagas Presiden Prabowo di institusi militer menjadi salah satu simbol yang dinilai berpotensi menormalisasi budaya militer dalam struktur sipil. Retret ini ditujukan untuk membangun kohesi, tetapi dikhawatirkan mengaburkan batas sipil-militer dalam tata kelola pemerintahan.
Dosen Sosiologi UGM itu berpandangan, untuk melawan militerisme yang mengakar, masyarakat sipil harus memiliki kesadaran politik yang tinggi dan memahami bahwa pemerintahan sipil yang efektif tidak harus bersandar pada model militeristik. Dibutuhkan edukasi publik yang konsisten untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi.
Ia mencontohkan reformasi PT Kereta Api Indonesia di bawah kepemimpinan Ignasius Jonan sebagai contoh kepemimpinan sipil yang sukses tanpa cara-cara militeristik.
"Pak Jonan berhasil membangun budaya kerja profesional yang efisien dan disiplin tanpa seragam militer. Ini bukti bahwa sipil pun bisa kuat," tegas Najib.
Peran media dan ormas
Najib menekankan pentingnya sinergi antara media, organisasi masyarakat sipil, dan institusi pendidikan dalam menumbuhkan kesadaran kolektif melawan bahaya militerisme.
“Kita butuh lebih banyak teladan dari sipil, budaya kerja baru yang disiplin tapi demokratis. Media harus terus mengkritisi dan memberi ruang bagi diskusi publik, bukan hanya menjadi corong kekuasaan,” imbuhnya.
Ia juga memperingatkan bahwa ketika masyarakat tidak kritis terhadap perluasan peran militer, akan semakin sulit menjaga ruang sipil yang bebas dan terbuka.
Najib menegaskan bahwa melawan militerisme bukan berarti memusuhi institusi militer. Peran militer tetap penting, namun harus dikembalikan pada fungsinya dalam pertahanan negara, bukan dalam mengendalikan urusan sipil dan politik.
“Militer tetap bagian penting negara. Tapi kalau masuk ke semua lini kehidupan sipil, itu berbahaya. Kita bukan anti militer, tapi pro demokrasi,” pungkasnya.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan bahwa mayoritas publik menyuarakan kekhawatiran terhadap potensi tumpang tindih kewenangan ketika TNI masuk ke dalam institusi sipil. Sebanyak 54,1 persen responden menyatakan "khawatir", dan 14,5 persen di antaranya bahkan "sangat khawatir". Sementara itu, hanya 28,2 persen responden menyatakan tidak khawatir, dan sisanya memilih tidak tahu.
Reformasi 1998 dalam ancaman
Survei ini juga mengungkap bahwa "55,5 persen responden khawatir" dan "14 persen sangat khawatir" bahwa perluasan jabatan TNI ke ranah sipil dapat "memundurkan proses reformasi" yang telah diperjuangkan sejak 1998. Hal ini menunjukkan adanya keresahan kolektif publik terhadap potensi kembalinya pola-pola lama pemerintahan yang otoriter dan tidak demokratis.
Meskipun kekhawatiran cukup tinggi, pandangan masyarakat terhadap dampaknya terhadap demokrasi tampak lebih terbagi. Sebanyak "49,7 persen menyatakan tidak terganggu" dengan kemungkinan TNI masuk ke lembaga sipil, sementara "46,8 persen menyatakan terganggu". Sisanya, sebesar 3,5 persen, memilih tidak tahu.
Pertanyaan mengenai perlunya anggota TNI yang masuk ke lembaga sipil untuk mundur dari institusi militer juga memperlihatkan kecenderungan publik yang kuat pada pemisahan militer dan sipil. Sebanyak "58,8 persen responden menilai bahwa TNI yang masuk ke lembaga sipil harus mundur dari jabatannya di militer", sementara "36,7 persen menyatakan tidak perlu".