Bogor, NU Online
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, H Zayadi memaparkan sejumlah aspek yang dapat diwujudkan jika RUU Pesantren disahkan menjadi UU Pesantren.
Dari aspek sosio-historis, UU tersebut akan mengembalikan pesantren pada kekhasannya. Pesantren, kata Zayadi, yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, telah bekontribusi penting dalam melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air, dan berkemajuan. Pesantren juga terbukti memiliki peran nyata dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, pergerakan kebangsaan, maupun pembangunan nasional.
Hal tersebut terjadi karena pesantren selama ini berfungsi sebagai tempat pendidikan, dakwah, dan pembedayaan masyarakat sebagaimana dipandang dari aspek sosiologis.
"UU Pesantren akan mengembalikan sebagamana jati diri pesantren, yakni sebagai lembaga pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan sosial kegamaan," kata Zayadi dalam Workshop RUU Pesantren; Arah, Tantangan, dan Implikasi, Selasa (2/7) malam di Hotel Sahira Butik Hotel, Bogor, Jawa Barat.
Menurut Zayadi, ketiga fungsi tersebut selama ini belum terwadahi oleh UU maupun peraturan lainnya yang sudah diberlakukan. Pada UU Nomor 20 tahun 2003, misalnya, hanya mewadahi sepertiga dari keseluruhan yang dibutuhkan pesantren.
Kemudian, dari aspek filosofis, kata Zayadi, Indonesia sebagai negara demokratis memberikan jaminan bagis etiap warga negara untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta memilih pendidikan dan pengajaran dalam satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Artinya, jika UU Pesantren disahkan dan diberlakukan, pendidikan pesantren akan diakui sebagaimana pendidikan umum, karena warga negara dinyatakan bebas memiih pendidikan dan pengajaran.
Dari aspek yuridis, peraturan perundang-undangan yang ada belum mengakomodir perkembangan, aspirasi dan kebutuhan pesantren, serta belum menempatkan pengaturan hukumnya dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang integratif dan komprehensif.
RUU Pesantren sendiri mengatur mengenai fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga penyiaran ajaran agama (dakwah Islam), dan sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat; norma-norma umum penyelenggaraan pesantren; rukun pesantren (arkanul ma’had) dan jiwa pesantren (ruhul ma’had).
Berikutnya, pendidikan pesantren sebagai bagian dari sistem Pendidikan Nasional; pembinaan terhadap pesantren merupakan kewenangan kementerian yang membidangi urusan pemerintahan di bidang agama; pengelolaan data dan informasi pesantren disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan kekhasan pesantren; pendanaan bagi penyelenggaraan pesantren; kerja sama pesantren dengan lembaga lainnya yang bersifat nasional dan atau internasional; dan partisipasi masyarakat.
RUU Pesantren terdiri dari 10 bab dan 42 pasal. RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebagai inisiatif DPR pada 16 Oktober 2018. Dalam perkembangannya, Presiden melalui Kementerian Sekretariat Negara dalam surat Nomor: B-982/M.Sesneg/D-1/HK.00.01/11/2018 tanggal 17 November 2018 telah menunjuk Menteri Agama sebagai koordinator Panja untuk melakukan penyusunan DIM bersama Mendikbud, Menristek Dikti, Menpan RB, dan Menkumham.
Kemudian, Panja telah melakukan langkah-langkah strategis untuk melakukan berbagai kajian dalam rangka penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dalam lembaga terkat, organisasi kemasyarakatan, tokoh lintas agama, pakar, pengasuh pesantren dan lainnya.
Workshop RUU Pesantren sendiri diadakan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Dibuka Selasa (2/7) sore, kegiatan dijadwalkan berlangsung hingga Kamis (4/7). (Kendi Setiawan)