Opini

Belajar Menggaet kepada Kiai Wahab dan Kiai Wahid

Jumat, 31 Agustus 2018 | 20:00 WIB

Oleh Abdullah Alawi 

Salah satu kemampuan para tokoh NU zaman dahulu adalah mampu menggaet kalangan lain ke dalam NU. Bukan sekadar menggaet dan memasukkannya menjadi anggota biasa atau menjadi kader afkiran, tapi menjadi kader yang menghayati NU secara lahir batin. 

Pada masa awal NU berdiri, Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Wahid Hasyim Hasyim adalah tokoh yang memiliki keterampilan demikian. Satu contoh, pada waktu hendak mengantarkan surat utusan Komite Hijaz ke Makkah, Kiai Wahab singgah di Singapura. Di sana, ia tinggal selama beberapa hari sambil menunggu kapal berangkat kembali. 

Kiai Wahab kemudian mengadakan pertemuan dengan sejumlah ulama di sana. Buahnya, 15 ulama Singapura sepakat dengan apa yang dipikirkan Kiai Wahab soal ijtihad, taqlid. Ujung-ujungnya, ulama tersebut taslim dengan NU yang baru didirikan di Surabaya. Jika hari ini banyak berdiri cabang istimewa, semestinya NU Singapura merupakan yang pertama. 

Dalam penelusuran saya, tentang kehadiran para peserta muktamar tahun-tahun itu, ulama Singapura tersebut baru hadir di mukatamar NU pada tahun 1937 di Malang.

Ya, Kiai Wahab memiliki daya dan kemampuan meyakinkan orang. Pintar juga berdebat ia. Dalam Berita Nahdlatoel Oelama, KH Hasyim Asy’ari selalu disebut hadratussyekh atau pemimpin, pembimbing kita, sementara Kiai Wahab kerap disebut “jago tua kita”.

Menurut saya, jago di situ mengacu kepada kemampuannya berdebat dan meyakinkan orang lain. Tidak hanya orang luar, tapi juga orang dalam. 

Menurut Choirul Anam, setelah sepuluh tahun tak berhasil merayu Kiai Hasyim As’ari untuk mendirikan organisasi pembela kalangan bermazhab, Kiai Wahab akan memilih salah satu dari dua yaitu mengundurkan diri dari hiru pikuk khalayak dan kebangsaan, dengan tinggal di rumah.

Kedua, masuk organisasi yang membenci kalangan bermazhab dan berdebat tiap hari dengan para pembencinya.  Untung NU akhirnya direstui Kiai Hasyim. 

Setelah sepuluh tahun NU berdiri, putra tertua Kiai Hasyim, yaitu Abdul Wahid mulai memasuki NU. Dia merupakan tenaga segar yang penuh gairah. 

Sebagaimana Kiai Wahab, Kiai Wahid juga memiliki keterampilan menggaet orang lain masuk ke dalam NU. Contohnya adalah Mr. Soenarjo. Ia kemudian menjadi salah seorang anggota kabinet dari NU, yaitu menjadi Menteri Dalam Negeri yang sukses menggelar pemilu pertama Indonesia tahun 1955.

Tokoh lain yang diajak masuk Kiai Wahid adalah Jamaluddin Malik, seorang pengusaha film. Di kemudian hari ia menjadi ketua pertama Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia. 

Ada lagi tokoh yang berhasil digaet Kiai Wahid, yaitu Kiai Idham Chalid. Ia kemudian menjadi Ketua Umum PBNU pertama yang berasal dari luar Jawa. Dan belum pernah ada lagi. Dan paling lama pula.  

Kiai Wahab dan Kiai Wahid merupakan produk zamannya ketika kader NU masih sedikit. Saat ini, NU memiliki kader melimpah baik produk dalam maupun luar negeri. 


Terkait