Oleh Hendro Wicaksono
Judul tulisan ini juga menjadi tema yang diangkat dalam diskusi yang diadakan secara online pada hari Senin, 8 April 2019 lalu. Diskusi tersebut menghadirkan pembicara Rüstü Aslandur, salah satu tokoh penting Muslim Jerman dan juga pendiri Deutschprachige Muslimkreis Karlsruhe (DMK), komunitas Muslim berbahasa Jerman Kota Karlsruhe. Turut hadir pula KH Ma'ruf Khozin, direktur Aswaja Center Jawa Timur. Diskusi ini dipandu oleh tim dari PCINU Jerman dan Unusa. Diskusi merupakan upaya merealisasikan inisiatif Global NU Connection.
Global NU Connection adalah sebuah inisiatif yang digulirkan oleh PCINU Jerman, LPTNU Jawa Timur, ISNU Surabaya, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, dan beberapa universitas di Jawa Timur. Tujuannya untuk memperkaya wawasan ke-Aswajan-an, ke-NU-an, keprofesian, dan sains, baik kepada Nahdliyin maupun masyarakat Jerman, dan juga masyarakat luas. Diharapkan Global NU Connection ini menjadi sarana untuk saling mengenal dan bersilaturahim antar muslim sedunia untuk mewujudkan Islam rahmatan lil alamin.
Dalam diskusi tersebut, Rüstü Aslandur menyampaikan tanggung jawab dan tantangan yang dihadapi umat Islam Jerman, yang hanya berjumlah sekitar lima persen, dan berasal dari multietnis. Walaupun begitu, sistem negara Jerman menjamin kebebasan semua pemeluk agama untuk beribadah, berpendapat, dan berdakwah. Nilai-nilai Islam banyak yang justru mengakar di kebudayaan Jerman, walaupun yang mengamalkannya bukan Muslim, misalnya terorganisir dengan baik, disiplin, tepat waktu, saling menghormati, menjaga kebersihan.
Nilai-nilai ini sebenarnya sudah diamalkan oleh Rasulullah Saw ketika berhijrah ke Madinah dengan penuh perencanaan dan juga suasana kota Madinah yang bersih setelah berhijrah. Rüstü menghindari pembedaan Muslim dan Non-Muslim dalam konteks pengalaman nilai-nilai islami dalam kehidupan sehari-hari di Jerman, bukan dalam konteks akidah. Hal ini seperti juga telah diungkapkan oleh ulama Timur Tengah puluhan tahun yang lalu, bahwa orang-orang Eropa berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Islam; sedangkan di dunia Islam, malah banyak yang berperilaku sebaliknya.
Rüstü juga menyampaikan tentang metode dakwah yang ramah, mengakomodasi nilai-nilai lokal, dan juga mengandalkan kualitas. Organisasi-organisasi dan individu-individu Islam selain mempunyai pengetahuan bagus tentang ke-Islaman, berkualitas di bidangnya masing-masing untuk bersaing dengan warga Jerman yang terkenal mempunyai standar tinggi, juga ramah dan mampu berinteraksi dengan masyarakat luas, terutama non-Muslim. Muslim harus menjadi bagian dari masyarakat yang didalamnya diisi oleh umat lain.
Keramahan berperilaku dan berdakwah ini juga diamini oleh KH Ma'ruf Khozin. Berkembangnya Islam di Nusantara berabad-abad yang lalu merupakan buah dari metode ini. Rüstü juga menimpali bahwa keramahan, kesopanan, dan kerendahan hati ini tercermin dari perilaku Muslim dari Nusantara yang ia jumpai di Jerman, di Makkah ketika haji dan umrah, serta kunjungan ke Surabaya pada tahun 2016.
Kiai Ma'ruf menambahkan bahwa sejak tahun 2000-an, dengan berkembangnya radikalisme di Indonesia, ulama-ulama NU menggunakan terminologi Islam Nusantara untuk mengajak masyarakat kembali ke Islam yang ramah, seperti yang dicontohkan ulama-ulama terdahulu ketika berdakwah di Nusantara.
Pada sesi tanya jawab, Pak Istas Pratomo, dari Unusa dengan antusias menanyakan metode dakwah paling efektif di Jerman. Pak Rüstü sekali lagi menekankan pentingnya keramahan, dan juga dakwah lewat jalur budaya. Contohnya, bahwa program memasak bersama dengan masakan dari negara mayoritas muslim lebih banyak menarik orang-orang Jerman, daripada kegiatan ceramah atau diskusi, di rangkaian acara pekan Islam Karlsruhe.
Kemudian, muncul pertanyaan dari peserta apakah di tengah-tengah kalangan muslim Jerman, ada upaya untuk membangun metodologi Islam Jerman yang tetap bersumber dan bertumpu pada koridor Islam Ahlusunnah wal Jama'ah, namun memiliki kecocokan dengan budaya Jerman dan nilai-nilai masyarakat Jerman.
Pak Rüstü menjawab bahwa hal ini sangat menarik dan akan sangat tergantung dengan bagaimana muslim Jerman mampu mengembangkan solusi Islami bagi masalah-masalah hidup di Jerman. Ia memberi contoh bagaimana solusi-solusi tradisi yang tertulis di dalam kitab yang dikembangkan di negara seperti Turki maupun negeri-negeri Arab, di saat diterjemahkan langsung ternyata tidak cocok dengan pola kehidupan di Jerman.
Memang sudah ada upaya dari para ulama untuk memberikan metode baru, contohnya, bagaimana metode bisa berkembang dengan menuju tujuan-tujuan syariat. Atau mengembangkan ide baru oleh muslim Jerman yang mau belajar di negeri-negeri Islam dan kemudian kembali untuk mengembangkan ilmu Islam di Jerman sehingga bisa menghasilkan metode-metode, kitab-kitab, solusi-solusi yang sesuai dengan kehidupan di Jerman.
Ia kemudian menambahkan jika saat ini yang ada hanyalah pendapat-pendapat tradisional yang tidak cocok dengan kehidupan saat ini di Jerman, pandangan Salafi Wahabi, dan adanya pandangan yang terlalu liberal. Sayang sekali hingga saat ini belum ada metode yang tepat yang bisa memberikan solusi bagi masalah kehidupan terutama untuk generasi muda. Mereka membutuhkan metode-metode ini, dan juga orang-orang yang mampu untuk melakukan penelitian dan pendalaman dalam masalah ini. Disepakati bahwa dialog terus-menerus dan juga dialog dengan Islam Nusantara berdasarkan pengalaman para ulama Nusantara selama ratusan tahun, akan merupakan hal yang menarik dan penting untuk dilanjutkan dalam upaya pengembangan metode Islam Jerman ini.
Pada akhir acara, semua peserta diskusi sepakat bahwa rangkaian kegiatan saling bertukar pengalaman dan wawasan dalam inisiatif NU Global Connection ini sangat penting untuk kedua belah pihak, Indonesia dan Jerman. Nilai-nilai seperti disiplin, tepat waktu, terorganisir, dan profesional yang mengakar di Jerman sangat penting diterapkan oleh umat Islam sedunia, dan juga nilai-nilai keramahan, kesopanan, kerendahan hati, dan yang tercermin dalam perilaku dan metode dakwah Islam Nusantara.
Penulis adalah Mustasyar PCINU Jerman; aktif mengajar di Universitas Jacobs Bremen.