Oleh: Murdianto An Nawie
Pemilu tahun 2019 telah usai. Pemenang Pemilu juga telah diumumkan 19 Mei 2019. Namun, tanggal 22 Mei pecah kerusuhan yang diduga dipicu ketidakpuasan sekelompok orang yang diduga pendukung kontestan tertentu. Pelaksanaan Pemilu ini tentu diharapkan menjadi institusionalisasi politik di negeri ini, bukan sebaliknya menjadi pemicu konflik sosial yang lebih luas. Mestinya kita belajar atas berbagai konflik massa kita pada masa lalu, yang selalu berakhir dengan korban kemanusiaan. Dan, pertanyaan penting bagi kita semua adalah: Seberapa jauh kita telah menyerap spirit demokrasi yang santun sebagaimana termaktub dalam Pancasila?
Beberapa sejarawan mencatat dalam sejarah Indonesia bahwa setiap menjelang atau masa pergantian kekuasaan (baca: kepemimpinan nasional) sedikit banyak diwarnai dengan konflik dan kekerasan secara pararel dari elit hingga ke akar rumput dan berlangsung terus dari setiap rezim. Nah, kini kita bangsa Indonesia hendak menapaki Pemilu kedua di era demokrasi, seolah konflik dan kekerasan juga menjadi noktah hitam yang terus menempel pada baju demokrasi yang hendak dipakai oleh bangsa ini. Steoreotype yang kerap kali menempel pada perilaku bangsa Timur (baca: Indonesia) yang santun, dan berbudi pekerti musnah sudah. Bahkan pada beberapa kasus para pengamat Barat tak jarang malabeli kita sebagai komunitas barbar, antihumanisme dan perlu diperadabkan. Ini tentu harus kita hidari.
Berangkat dari fenomena itu, maka kesungguhan hati untuk menata kehidupan politik yang lebih santun bukan lagi sebatas basa-basi atau sebuah retorika politik semata. Kasus kekerasan yang terjadi hari 22 Mei 2019, adalah cermin paradoks dalam membangun demokrasi. Para pendukung kontestan Pemilu 2019, baik calon presiden atau partai politik, tak boleh hanya disuguhi pesta jalanan bagi yang menang, dan tindak kekerasan bagi yang kalah. Apalagi disertai provokasi dari elit dan diikuti oleh pergerakan dan pengolahan emosi massa. Tak heran kalau kemudian konflik politik yang melibatkan massa terulang terus dari hari ke hari. Pada titik ini, maka para kontestan Pemilu adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas munculnya berbagai konflik dan kekerasan pascapemilu 2019. Kontestan Pemilu, baik para politisi ataupun partai, ataupun elit organisasi masyarakat tentu tak boleh hanya berorientasi pada akumulasi kekuasaan semata yang mereka peroleh.
Terkhusus partai politik, sebagaimana yang dikatakan oleh Neumann, dalam Modern Political Parties, fungsi yang paling dominan dari partai adalah menggantikan konflik jalanan (baca: kekerasan) dengan diplomasi politik di parlemen yang secara fair dan demokratis. Artinya, partai tidak saja mengharamkan konflik jalanan, tapi berkewajiban melokalisir benturan kepentingan yang keras itu di meja diplomasi atau di ruang-ruang sidang di gedung perwakilan rakyat.
Jadi kalau sekarang kita jumpai dan elit politik justru memobilisasi bahkan membuka peluang massa yang brutal untuk berduyun duyun dijalanan untuk mengekspresikan ketidakpuasannya dengan kekerasan dan pelanggaran hukum,dapat dipastikan elit politik tidak memiliki sikap dan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya memposisikan tugasnya dalam kehidupan berbangsa. Apa yang ditujunya hanya sekedar mengejar kekuasaan politik semata. Kini saatnya bagi kita semua, untuk menghentikan membakar massa dengan provokasi dan ujaran kebencian. Jangan lagi ada elite politik yang sengaja membakar emosi massa hingga terjadi tindak kekerasan yang mengorbankan nyawa manusia.
Khusus untuk mengelola situasi sosial pada pesta demokrasi pada masa-masa yang akan datang, beberapa yang penting kita agendakan bersama adalah:
Pertama, terkhusus para pemilih yang juga adalah sebagian besar adalah warganet di media sosial, harus bersama-sama merefleksikan kembali kesadaran politiknya. Meskipun terasa politik identitas makin mengeras belakangan ini, kita tak boleh mundur untuk membangun rasionalitas politik, dengan mengakses informasi yang lengkap dan detail tetang program dan gagasan para kontestan politik. Maka derajat kualitas Pemilu dan demokrasi akan meningkat seiring dengan kematangan masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya, yang semata-mata tidak ditentukan oleh faktor identitas politik dan agama. Konten-konten di media sosial yang dibuat baik oleh kontestan atau para pihak yang terkait adalah konten positif yang berisi informasi, yang tak boleh mengolah sentimen primordial seperti kesukuan, agama, dan ras.
Kedua, fase-fase laten yang mengudang kekerasan politik ke depan harus sedemikian rupa terdeteksi, sehingga para penyelenggara negara sejak dini dapat membuat antisipasi konflik-konflik yang bakal terjadi.
Ketiga, penyelenggara dan peserta Pemilu harus berikhtiar melakukan kendali atas pengelompokan-pengelompokkan massa secara terbuka, apalagi dengan bumbu provokasi dan ujaran kebencian kepada kelompok lain. Kontestan politik harus menggantikan propaganda yang mengeksploitasi unsur Sara, dan mobilisasi massa dengan dialog-dialog terbuka dan egaliter. Dengan begitu, kematangan para politisi yang akan mengisi jabatan politik baik dalam pemerintahan maupun parlemen teruji, bukan semata-mata mengandalkan figur ketenaran, atau nama besar orang lain.
Keempat; para elit politik harus membuat kontrak dan kesepakatan bahwa kelompok yang membuat kekacauan politik hingga mengundang kekerasan massa di hari hari mendatang mendapatkan diskualifikasi keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum. Hal ini penting sebagai ikatan politik, sebab kerap kali tak terselesaikan melalui ruang hukum.
Kelima, peran agamawan dan tokoh moral bangsa ini harus direposisi ulang di masa depan. Peran yang lebih menjernihkan, menjadi penengah dan mediator antarberbagai kepentingan yang sering berbenturan, teramat dibutuhkan. Daripada terlibat terlalu jauh dengan pertarungan politik praktis seperti menjadi kontestan Pemilu, situasi yang berpotensi membuat bangsa ini tanpa figur perekat dan pemersatu.
Dengan beberapa langkah prioritas di atas diharapkan kita dapat lebih berdewasa dalam berpolitik, serta tindak kekerasan yang menjadi bayang bayang hitam yang menghantui kita dalam pascapemilu 2019 tidak terus menghantui kita. Jalan buntu dan gelap ini harus kita buka kembali. Kita harus bangkit dari segala bentuk kekerasan dan hasrat purba untuk melakukan agresi terhadap lawan politik. Apalagi, sesungguhnya kita adalah sesama warga bangsa. Kita harus bersama memastikan negeri ini negeri yang memberi harapan pada generasi di masa depan. Dan, pada titik ini kita dapat mengingat pesan penting Gus Dur, "Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan".
Penulis adalah Dosen PPS IAI Sunan Giri (Insuri) Ponorogo, Tim Litbang ISNU Jawa Timur, Penggiat Jaringan Gusdurian.