Opini

Lebaran dalam Kesendirian

Kamis, 6 Juni 2019 | 00:00 WIB

Oleh Syakir NF

Saya merantau ke ibukota sudah enam tahunan. Selama itu pula, saya masih bisa berlebaran dengan sanak keluarga di kampung halaman. Tentu hal itu patut saya syukuri mengingat masih ada saudara-saudara kita yang tidak bisa merasakan hal yang sama dengan saya, karena alasan sibuk bekerja, studi, ataupun hal lainnya.

Hal terakhir itulah yang diceritakan oleh Umar Kayam dalam cerpennya yang berjudul Lebaran di Karet, di Karet.... Ia, sang tokoh utama, memang punya dua orang anak. Namun, ia memilih berlebaran di Karet. Karet bukan dalam arti sebenarnya. Itu adalah nama sebuah daerah yang terkenal karena tempat pemakamannya, karena stasiunnya. Hal yang pertama itu sampai disebut oleh Chairil Anwar dalam puisinya, Yang Terampas dan Yang Putus (di Karet, di Karet (daerahku y.a.d./yang akan datang) sampai juga deru dingin, Chairil Anwar, Yang Terampas dan Yang Putus dalam Aku Ini Binatang Jalang, hal. 82)

Ya, Is juga berlebaran di pemakaman Karet, tentu saja selepas shalat dan menikmati hidangan yang telah rapi disajikan oleh sepasang suami istri pembantunya. Ia sendiri dari rumahnya berkendara mobil. Ia berkunjung di rumah terakhir Rani, kekasihnya yang telah memberinya dua anak.
 
Ke Karet, ke Karet –tidak ke Jeruk Purut ke tempat Rani –melainkan ke Karet, ke Kareet.... Rani pasti setuju dan senang.
(Umar Kayam, Lebaran di Karet, di Karet...dalam Mata yang Indah, Cerpen Pilihan Kompas 2001, h. 189)

Keberangkatannya sendirian ke sana tanpa disertai anak-anaknya bukan kemauannya. Pasalnya tiga anaknya masih di luar negeri dengan kesibukannya masing-masing. Nana, misalnya, yang mengirim kartu pos bergambar bertuliskan permohonan maafnya dari Geneva tidak bisa balik ke Indonesia karena ada janji buat mengajari ski di Alpen. Untuk ibunya yang di Karet itu, putrinya hanya bertanya keberadaan nisan makam ibunya. Sulungnya, Suryo, yang tinggal di New York malah tidak bisa pulang karena ada janji dengan pacarnya dari Puerto Rico.

Cerita Is menggambarkan betapa kekayaan materi bukanlah segalanya. Meski memiliki rumah besar dan anak-anak yang punya pendidikan yang tinggi, Is seakan masih miskin kasih sayang mengingat dua anaknya yang sibuk dengan dunianya. Idulfitri yang seyogianya menjadi ajang silaturahim tahunan, menjadi hampa tanpa satu anggota keluarga pun yang menyertainya.

Umar Kayam sangat realis dalam mengungkapkan ceritanya. Kita tahu bahwa sastra, kata de Bonald, merupakan ekspresi atas suatu masyarakat. Benar ada tidaknya Is yang nyata saya tidak mengerti. Tetapi, kita perlu tahu bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 menyebutkan kesendirian lansia di Indonesia sudah mencapai 9,80 persen dari keseluruhan lansia yang ada di Indonesia. 14,37 persen perempuan, sedang laki-laki berjumlah 4,75 persen. Persentase di kota berjumlah 9,15 persen, sementara 10,44 persen di desa. Artinya, data tersebut menunjukkan bahwa tak sedikit orang tua kita yang harus menjalani kehidupannya sendiri. Sementara kita anak-anaknya masih alpa menemani, bahkan asik-asikan sendiri.

Oleh karena itu, bagi kita yang masih punya kesempatan mudik dan bertemu dengan keluarga besar, bagi kita yang masih punya keluarga yang sempat mudik dan menemui kita, patutlah kita mensyukuri nikmat yang tak terkira itu. Sebab, belum tentu kebersamaan itu akan terulang lagi di tahun-tahun berikutnya.

Selamat berlebaran bersama keluarga. Bagi yang belum, semoga lebaran berikutnya bisa menikmati indahnya kebersamaan bersama orang-orang tercinta.


Penulis adalah mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta .


Terkait