Oleh M. Haromain
"Tanpa mempelajari bahasa sendiripun, orang tak kan mengenal bangsanya sendiri"
(Pramoedya Ananta Toer)
Tak dapat dimungkiri apresiasi, perhatian dan kepedulian mayoritas warga bangsa ini terhadap nasib dan masa depan bahasa Indonesia cukup rendah, tak kecuali dalamgolongan intlektual dan terpelajar yang seharusnya mereka berada di garda terdepan dalam menjaga dan mengawal marwah dan kualitas bahasa Indonesia. Bila kalangan akademisi dan terpelajar saja bersikap apatis, apatah lagi kalangan umum.
Siapa yang membaca sejarah tentu tahu bahwa sebenarnya semua warga Indonesia tanpa terkecuali mendapatkan amanat dan tanggung jawab untuk melestarikan dan merawat bahasa Indonesia. Seandainya para pejuang kemerdekaan dan pembela bahasa Indonesia zaman revolusi seperti Bung Hatta, Muhammad Yamin, Dr Soetomo, dan Ki Hajar Dewantoro tidak berusaha mati-matian membendung hegemoni bahasa Belanda tempo itu yang tengah begitu merajalelanya.
Khususnya dalam lapangan jurnalistik dan politik, dan umpama mereka tidak terus berusaha memosisikan bahasa Indonesia sebagai alternatif bahasa persatuan dan perjuangan, bangsa kita tidak akan memiliki bahasa Indonesia sebagaimana sekarang ini.
Bukankah pernah suatu tempo antara tahun 1930-an hingga 1940-an bahasa Indonesia sangat dihinakan dan dianggap "bahasa sarap" alias sampah yaitu saatbahasa Indonesia menjadisoaldaruratdalamduniajurnalistikdanpolitik kala itu.
Tak banyak yang sadar bahwa Bahasa Indonesia yang diadaptasikan dari bahasa melayu merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa kita yang tak ternilai harganya, disamping juga menjadi identitas bangsa serta taruhan hargadiri bangsa. Muhammad Yamin tokoh pejuang revolosi, sastrawan dan ahli bahasa pernah menyatakan: "Perubahan apapun yanga akan terjadi di Indonesia, namun satu hal tak akan berubah-ubah, bahasa indonesia tidak akan lenyap dari bumi indonesia dan mungkin menjadi bahasa yang terpenting di atas dunia".
Jadi, saat ini sangat krusial untuk menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya menjaga bahasa Indonesia yang baik dan benar. Diantara pengejawantahannya ialah mentradisikan anak-anak dan generasi muda agar akrab dengan kamus bahasa Indonesia, yaitu membiasakanmereka membuka kamus bahasa Indonesia.
Pasalnya kebiasaan membuka kamus bahasa Indonesia juga belum menjadi tradisi dalam masyarakat kita bahkan oleh pelajar dan mahasiswa sekalipun. Umumnya mahasiswa pun baru sempat membuka KBBI hanya ketika terpaksa karena suatu tuntutan mengerjakan tugas karya ilmiah atau skripsi yang diantara prosedurnya adalah wajib menyertakan daftar istilah dan batasan makna dari kata-kata kunci yang menjadi variabel penelitianya.
Kebanyakan mereka enggan membuka kamus bahasa Indonesia berdalih bahwa bahasa Indonesia itu mudah dikuasai karena merupakan bahasa ibu yang tentunya sudah familiar sedari masa anak-anak sehingga tidak perlu mempelajarinya sebagaimana belajar bahasa asing yang membutuhkan ketekunan.
Dan sangat disayangkan pula ternyata umumnya masyarakat penutur bahasa Indonesia sendiri belum mengerti betapa urgen nya membuka kamus. Padahal dengan mengakses kamus kita bisa mengetahui batasan makna suatu kata serta dalam konteks apa kata tersebut dipakai dalam kalimat, memahami makna halus dari suatu kata sehingga mampu memilih diksi kata yang tepat, tahu makna asal suatu kata sebelum kata tersebut masuk ke dalam istilah disiplin ilmu tertentu atau sebelum mengalami pergeseran makna.
Dengan banyak membuka kamus seseorang akan memiliki bejibun kosa kata yang itu sangat memberi andil demi kelancaran dan keakuratan memilih kata ketika menuangkan gagasan atau pikiran baik melalui tulisan atau oral. Perbendaharaan kata yang minim akan menyulitkan komunikator dalam menyampaikan pesan kepada khalayak atau komunikate, meskipun sebenarnya sangat menguasai materi yang hendak dilontarkan.
Gabriel Garcia Marques sastrawan kenamaan keliber dunia asal Kolombia penerima penghargaan nobel sastra tahun 1982 semenjak usia belia sudah akrab dengan kamus. Bahkan salah satu kunci suksesnya menjadi sastrawan besar menurut Ruben Pelayo penulis biografi Gabriel Garcia Marques, karena sejak kecil Marques sudah mengenal kamus, kakeknya yang mengenalkan kamus ketika ia berusia lima tahun. Waktu itu kakeknya menasihati bahwa kamus tidak saja buku yang tahu akan semua hal, tetapi juga buku yang tak pernah keliru.
Akhirnya kita berharap kepada para pendidik, khususnya pengajar bahasa Indonesia supaya anak-anak didiknya sejak dini sudah mulai dikenalkan dan ditanamkan kebiasaan membuka kamus bahasa Indonesia, supaya mereka tidak terjebak menggunakan kata-kata yang salah kaprah dalam komunikasi praktis keseharian, yang selama ini memang bahasa Indonesia dirusak oleh massifnya bahasa gaul dan alai yang didominasi generasi muda.
Dedikasi tanpa pamrih dari segenap bapak bangsa di atas serta pejuang bahasa Indonesia seperti Muhamad Yamin dan Adinegoro yang telah memperjuangkan eksisnya bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional, bahasa persatuan dan menjadi identitas bangsa wajib kita hargai. Saatnya generasi sekarang untuk melanjutkan kebermaknaan bahasa Indonesia yang dahulu telah diamanahkaan pada saat konggres pemuda tahun 1928 dan konggres bahasa Indonesia I di Solo tahun 1938.
Penulis adalah jurnalis, tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.