Misi utama para Rasulullah adalah menyampaikan ajaran tauhid, yaitu pengesaan Allah SWT dalam segala hal. Ajaran tauhid dapat dipahami sebagai sarana mengembalikan segala sesuatu kepada asalnya yang semestinya. Allah SWT adalah asal segala sesuatu. Hanya Dialah Pencipta segala sesuatu (khâliq). Semua makhluk sudah seharusnya menjadikanNya sebagai tujuan akhir hidupnya.
Semua orang pasti sadar bahwa kehidupan dunia ini tidak selamanya. Mereka pasti akan kembali kepada asal muasalnya. Hanya saja, ada yang kembali dengan selamat, ada yang tidak selamat. Semua pasti berharap dapat kembali dengan selamat. Untuk mencapai keselamatan, Allah SWT memberikan manusia pedoman, yaitu Islam yang bersumber al-Qur’an dan al-Hadits.
Bagi orang yang bertauhid, Islam dengan segala ajarannya diperlakukan sebagai sarana (washilah) yang harus digunakan menuju tujuan akhirnya (ghayah) yaitu ridha Allah SWT. Ini adalah sarana yang Allah SWT telah pilihkan untuk semua makhlukNya. Tiada sarana lain yang dapat mengantarkan makhluk kembali kepada asalnya, selain melalui Islam. Innad diina ‘indallaahil islam (QS. Ali Imran [3]:19).
Sayangnya, sering kali kita terkecoh oleh pemahaman kita atas Islam. Islam dan bahkan pemahaman kita atas Islam, ditempatkan sebagai tujuan. Kita merasa telah menjadi pejuang-pejuang Islam dengan berislam sebagaimana pemahaman sempit kita. Kita menafikan pemahaman lain, yang tidak sama dengan pemahaman kita. Kita menganggap inilah satu-satu pemahaman yang paling benar. Padahal, kita tidak mengetahui secara pasti apakah memang seperti itu yang Allah kehendaki.
Kita pasti sepakat bahwa beribadah adalah menyembah Allah SWT. Kita menghamba kepadaNya. Tapi dengan pemahaman yang sempit dan eksklusif dalam berislam seperti itu, maka perlu diwaspadai bahwa bisa-bisa kita terbawa pada beribadah atau menyembah Islam atau pemahaman kita terhadap Islam. Allah SWT tertutup oleh pemahaman picik kita terhadap Islam.
Saya punya analogi imajiner dalam hal ini. Maaf jika tidak tepat!
Ibaratnya, kita akan menuju suatu tempat. Agar kita sampai ke tempat tersebut, maka kita harus mengendarai kendaraan X. Jika kita mengendarai selainnya, maka niscaya kita tidak sampai. Kendaraan dan kita sudah ada, tapi sayang kita tidak segera mengendarainya dan segera bergerak menuju tujuan.
Perhatian kita terkecoh pada kendaraan X itu. Kendaraan X itu kita cuci dulu biar tampak bersih. Setelah itu kita menggosoknya dengan pengkilat agar tampak kinclong. Setelah kinclong, kendaraan X kita hidupkan mesinnya. Setelah mesinnya hidup, kita tarik gasnya perlahan-lahan. Dengan sangat bangga dan puas kita bleyer-bleyer kendaran tersebut.
Sayangnya, kendaraan itu akhirnya hanya kita bleyer-bleyer, tapi tidak kita kendarai. Apakah dengan membleyer-bleyernya saja kita bisa sampai tujuan? Belum sempat kita menjawabnya, e ... nggak tahunya saat kita membleyer-bleyer malaikat Izra’il keburu menjemput kita.
Apa jadinya? Idealnya jawabnya adalah innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uuna. Sayangnya tidak demikian. Kita milik dan dari Allah, namun tidak kembali kepadaNya, karena kita tidak pernah berangkat menujuNya. Kita hanya sampai di kendaraan kita. Sungguh ini adalah akhir yang amat tragis.
Saya membayangkan bahwa kita yang keburu mati dalam keadaan seperti itu sebenarnya tidak sadar bahwa kita tidak sampai pada tujuan yang hendak kita tuju. Tapi kita merasa sudah paling hebat, karena telah ngopeni kendaraan yang harus digunakan untuk mencapai tujuan. Kita merasa sudah banyak berbuat untukNya. Oleh karenanya kita merasa layak untuk mendapatkan balasan yang terbaik disisiNya.
Tibalah saat perhitungan amal di makhsyar. Dengan penuh percaya diri, kita menantikan saat-saat penempatan di tempat yang indah dan penuh kenikmatan. Namun, betapa terperanjatnya kita; apa yang kita bayangkan ternyata tidak sesuai dengan harapan.
Kita pun protes, “Ya Allah mengapa Engkau acuhkan kami, mengapa Engkau abaikan kami, mengapa Engkau cuekin kami. Padahal dulu kami adalah adalah orang-orang yang sangat ngopeni agamaMu?”.
Allah kemudian menjawab, “Wahai manusia, memang Engkau dulu sangat ngopeni agamaku. Engkau sangat gigih memperjuangkannya. Tapi sayang, Engkau terkecoh. Yang kau tuju bukan Aku tapi agamaKu. Yang kau maksud bukan Aku, tapi makhlukKu. Yang kau rindu bukan Aku, tapi surgaku. Yang kau takuti bukan Aku, tapi nerakaKu. Bahkan, dalam hatimu terbetik, Yang Kau sembah bukan Aku tapi IslamKu.”
Ia menambahkan lebih dahsyat lagi, “Kalau demikian, kau duakan Aku dengan agamaKu. Kau duakan aku dengan makhlukKu. Kau sekutukan aku dengan ideologimu. Kamu sekutukan Aku dengan organisasimu. Bahkan, Kau sekutukan aku dengan surga dan nerakaKu. Engkau tidak ikhlas menjadi hambaKu”
Mendengar jawaban itu, kita pun menjadi lunglai tak bertenaga, karena kita kecele yang luar biasa. Kita menganggap dan merasa diri adalah pembelaNya, e...nggak tahunya Ia tidak merasa dibela. Kita menganggap diri paling layak akan surgaNya, e...nggak tahunya kita tidak ikhlas, bahkan terjatuh dalam kesyirikan yang tidak kita sadari.
Saya pun tersadar dari renungan imajiner yang penuh pengandaian itu. Saya tak kuasa untuk melanjutkannya kembali, karena khawatir jangan-jangan saya pula termasuk orang-orang yang kecele dan tidak ikhlas itu.
Secara kasat mata sulit membedakan orang yang menjadikan Allah ataukah Islam sebagai tujuan (ghayah). Bisa jadi tampilan luarnya sama, namun tiap manusia memiliki nurani untuk bertanya reflektif dalam perenungan. Di ujung perenungan, tiada yang dapat kita upayakan selain selalu memohon pertolonganNya dalam doa.
“Ya Allah inilah kami apa adanya. Kami sadar bahwa kami harus mengendarai kendaraan yang telah engkau sediakan untuk menujuMu. Namun, ternyata banyak godaan yang setiap saat dapat mengalihkan perhatian kami kepadaMu. Oleh karena itu, bantulah kami. Tanpa bantuanMu, mustahil kami mampu mengendarainya. Sinarilah perjalanan kami. Tanpa petunjuk dan CahayaMu, mustahil kami mampu menuju jalan lurusMu untuk menuju kepadaMu.”
Penulis adalah Ketua Tanfidziyyah Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Pacarpeluk, Megaluh, Jombang