Opini

Modernitas ala Kaum Tradisionalis

Ahad, 18 September 2016 | 20:00 WIB

Oleh: Isnai Ilham Aufaduha

Sejak berdirinya pada tahun 1926 M, jam’iyyah diniyah islamiyah dan ijtima’iyah Nahdlatul Ulama yang berawal dari pembentukan Komite Hijaz ini memang ditujukan untuk menjadi wadah bagi berkumpulnya kiai-kiai beserta para pengikutnya yang berpaham Ahlussunnah wal Jama’ah, meskipun masyarakat lebih condong menggunakan istilah “Islam Tradisional”. Penggunaan istilah “Tradisional” ini kemudian menimbulkan dikotomi sehingga memunculkan istilah lainnya, “Islam Modern”, meskipun keduanya disandangkan pada kelompok-kelompok tertentu tanpa didasarkan pada faktor-faktor yang pasti, hanya didasarkan pada opini mayoritas masyarakat saja.

KH. Abdurrahman Wahid dalam tulisannya yang berjudul “Tradisional Belum Tentu Kolot”, berpendapat: “Hampir semua tulisan tentang Nahdlatul Ulama (NU) menyimpulkan bahwa perkumpulan itu sangat tradisional. Ini tentu saja dapat dimengerti karena dalam kenyataan para pemimpin perkumpulan itu memang tradisional dalam bentuk lahiriah. Umumnya mereka mengenakan sarung.”  Di sini beliau menyoroti penggunaan istilah “tradisional” didasarkan pada kenyataan bahwa secara lahiriah baik dari segi penampilan, gaya hidup, dan wilayah penyebaran, NU memang cocok bila disebut sebagai “Islam Tradisional”.

Label tradisional yang melekat pada NU tidak terlepas dari sejarah masuk dan tersebarnya Islam di Indonesia yang melalui pendekatan-pendekatan humanis, lewat jalur perdagangan, jalur pernikahan, dan yang paling utama, jalur pendekatan budaya. Meminjam istilah KH. Afifuddin Muhajir, Islam di Indonesia adalah “Hasil dialektika antara teks syariat dengan realitas dan budaya setempat”, Kiai Siad Aqil juga berpendapat bahwa Islam di Indonesia adalah “Islam yang tidak memberangus budaya, Islam yang tidak anti budaya selama tidak bertentangan dengan tauhid, justru Islam diperkuat oleh budaya, dan budaya diberi ruh dengan Islam”.

Namun, kita akan menjumpai sisi yang berbeda dari NU jika kita memakai indikator yang lain. Dalam lingkungan Nahdlatul Ulama, dikenal sebuah forum yang disebut Bahtsul Masail, yaitu metode pengambilan keputusan hukum Islam dimana tradisi intelektual ini sudah berlangsung sejak NU didirikan. Forum ini bertugas mengambil keputusan tentang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masail fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah ketauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarekat). Bahtsul masail biasanya diadakan dalam forum-forum besar seperti Muktamar NU, Munas Alim Ulama, dan Konferensi Besar, meskipun kerap juga diadakan dalam forum lainnya.

Dr (HC). KH. M. A. Sahal Mahfudh menjelaskan, “Dari segi historis maupun operasionalitas, bahtsul masail NU merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan berwawasan luas. Dikatakan dinamis sebab persoalan (masail) yang digarap selalu mengikuti perkembangan (tren) hukum di masyarakat.” Pernyataan Kiai Sahal ini sangat menggambarkan itsbat al-ahkam ala NU ini. Masalah-masalah yang di-Bahtsul Masail-kan merupakan masalah yang sedang hangat di masyatakat. Penulis mengambil beberapa contoh; pembahasan mengenai hukum mengerjakan proses bayi tabung pada 1981; Kloning Gen pada Tanaman, Hewan, dan Manusia yang dibahas pada 1997; dan yang paling mutakhir pembahasan mengenai hukum asuransi BPJS dan penenggelaman kapal asing yang melanggar hukum, dibahas dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33. Hal ini cukup menarik di mata penulis jika kita mengaitkan sisi tradisionalitas NU dengan kemampuan istinbath yang begitu mendalam dan mutakhir.

Selain itu, kita juga bisa melihat sisi modernitas NU dalam perkembangan metode dakwahnya. Kini seiring dengan berkembang pesatnya teknologi informasi, NU sebagai organisasi massa terbesar di Indonesia turut memanfaatkan media massa elektronik dan media sosial sebagai sarana penyebaran paham Islam Ahlussunah wal Jamaah. Dari yang formal-official hingga yang bersifat personal, semuanya ada. Sebut saja Aswaja TV, TV9 Nusantara, dan redaksi NU Online yang membuka kanal di berbagai media sosial. Berbicara mengenai media sosial, kaum muda NU bisa dibilang sebagai ‘motor’nya. Mereka menyebarkan paham-paham “tradisional” dengan sarana yang “modern”, mempertahankan tradisionalitas dengan memberdayakan sarana yang bermakna sebaliknya. Seolah tanpa komando, akun-akun bernafaskan Ahlussunah wal Jamaah an-Nahdliyyah tumbuh pesat bak jamur di musim penghujan di berbagai media sosial. Akun-akun ini senantiasa menyebarkan informasi-informasi ke-Aswaja-an dan ke-NU-an dengan kemasan yang menarik, dan terus berkembang dalam segi kuantitas dan kualitas. Kaum muda NU ini selaras dengan dawuh Sunan Kalijaga “Anglaras playuning banyu, Ngeli ning ojo keli” (Selaraskan diri dengan aliran air. Ikutilah arus tapi janganlah sampai terhanyut), tetap mempertahankan jati diri ditengah modernitas yang tidak selalu bermakna positif.

Tampaknya warga Nahdlatul Ulama benar-benar terampil menerapkan kaidah ushul fiqh al-muhafadatu ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil-jadidil ashlah (melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik). Yang demikian memang seharusnya diterapkan dalam segala lini kehidupan, bukan?

* Penulis adalah mahasiswa Universitas Indonesia


Terkait