Opini

NU Menuju Evolusi Peradaban

Ahad, 3 Februari 2008 | 23:00 WIB

Oleh Muhibin AM*

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi kemasyarakatan Islam yang memberi payung bagi kaum tradisional. Sejak didirikan pada 1926 oleh KH Hasyim Asy’ari, NU telah banyak mengalami perubahan. Terutama dalam aliran pemikiran menuju pemikiran yang lebih inovatif. Perubahan pemikiran itu ditandai dengan munculnya intelektual-intelektual muda NU yang memiliki frame pemikirannya jauh lebih modern.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu dari produk NU yang pemikirannya sulit ditandingi kiai lainnya. Di samping sebagai seorang kiai, Gus Dur telah memperkenalkan ide Kosmopolitanisme Islam dalam kehidupan modern di Indonesia. Di lain pihak, Ulil Absar Abdalla yang sampai kini masih menjadi kontroversi di kalangan NU, merupakan produk NU yang melahirkan pemikiran liberal Islam.<>

Mencermati perjuangan NU masa silam, kiprah NU hanya sebatas mempertahankan dan melindungi tradisi masyarakat pedesaan (tradisional), yang pada itu tidak memiliki payung organisasi. Sementara, kaum perkotaan telah memiliki payung organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tahun 1912, yang bergerak dalam dunia pendidikan anak-anak muslim perkotaan. Sehingga kemudian mengerakkan hati KH Wahab Chasbullah (Tambakberas, Jombang) untuk merintis organisasi ini. Guna mengimbangi organisasi masyarakat Islam perkotaan yang telah diwakili Muhammadiyah.

Untuk melindungi kaum tradisonal ini, ulama-ulama NU tak kalah pentingnya mendirikan lebaga-lembaga pendidikan kultural, yang banyak orang menyebutnya pesantren. Lembaga pendidikan kultural ini dibentuk untuk mendidik kaum muda NU melalui kharisma seorang kiai yang menjadi pengasuhnya, guna mendalami agamanya melalui kitab-kitab klasik (kitab kuning). Sehingga memiliki fondasi agama yang lebih kuat.

NU, sejak didirikan hingga pasca-kemerdekaan, masih bersifat eksklusif terhadap pengaruh luar (Barat). Namun, pada perkembangannya, ketika kemerdekaan telah diraih, NU lebih terbuka terhadap perkembangan zaman yang memang membutuhkan keterbukaan. NU kemudian mengambil sikap kooperatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan cara membuka sekolah-sekolah pendidikan modern yang dikelola yayasan pesantren. Ketika ilmu-ilmu umum ini telah masuk ke dalam pesantren, maka kemudian melahirkan kaum muda NU yang lebih progresif memandang perkembangan zaman. Kemudian, lahir para tokoh-tokoh pemikiran modern NU yang banyak dibawa kaum muda, terutama yang memiliki predikat lulusan luar negeri, seperti Gus Dur dan Ulil Absar Abdalla.

Salah satu keunikan NU adalah sikap kooperatifnya terhadap pemikiran-pemikiran baru yang masuk ke dalam NU, meski melalui berbagai macam dialektika yang panjang. Namun, tidak sampai pada peperangan teologis yang saling mengkafirkan antara sesama warga NU. Sehingga tidak menyulitkan bagi kalangan muda NU untuk tetap berkreasi sesuai dengan keinginan masing-masing asalkan masih tetap setia berpegang pada NU. Intinya, NU membebaskan kepada warganya untuk berkreasi dalam bidang intelektual, meskipun itu banyak memunculkan pro-kontra di kalangan kiai.

Sikap kooperatif inilah yang menjadikan NU tetap eksis secara perlahan-lahan membangun bangsa ini. NU yang semula hanya fikih sentris atau menilai sesuatu dengan hitam-putih, kini lebih bersifat terbuka membangun kemaslahatan umat menjadi ummatan waahidan.

Sebuah peradaban, suatu bangsa menuju ke arah yang lebih sempurna sudah menjadi kepastian terjadinya secara evolutif dan hereditas, lebih cenderung bersifat kooperatif terhadap pemikiran-pemikiran baru yang kemudian dikombinasikan dengan pemikiran-pemikiran yang telah ada, guna merubah pola pikir yang lebih maju, dengan dasar petimbangan kitab sucinya dan akal. Amerika Serikat, untuk bisa menjadi negara adidaya, perlu waktu sekitar 500 tahun dalam proses perbaikan yang terus menerus. Bahkan, sejarah Amerika Serikat mencatat, sekitar tahun 1960-an mengalami degradasi dalam segala bentuknya.

Islam pun ketika menuju masa keemasannya di Bagdad, Irak, membutuhkan waktu sangat panjang. Dan, tentunya di dalam sebuah evolusi bukan tidak memiliki hambatan yang serius. Justru dengan adanya konflik intern inilah, kedewasaan sebuah bangsa akan tercipta, maka, kemudian ia akan membentuk karakter masing-masing untuk bisa berperan dalam membangun bangsanya. Kemudian menimbulkan kesadaran untuk saling menghargai dan menghormati di antara perbedaan.

Di dalam tubuh NU yang memiliki beragam pemikiran, wajar jika saat ini mengalami konflik intern organisasi. Tetapi, hal yang perlu kita ketahui dan kita sadari adalah hal itu merupakan bentuk dari evolusi menuju perubahan yang secara berkala ke arah yang lebih baik, untuk menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat dan zaman yang terus bergerak.

Prinsip almuhafadzu ala al qadimissholih waal ajhzdu bi al jadidi al ashlah (memeilahara/mempertahankan yang lama yang masih relevan dan menerima yang baru yang lebih relevan), mencoba untuk dipraktikkan beberapa ulama NU. Kini, hampir di setiap pesantren memiliki pendidikan model Barat yang telah dikombinasikan dengan pendidikan pesantren, guna untuk membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu keduniaan agar nantinya tidak buta ilmu-ilmu umum atau yang lebih dikenal dengan ilmu sekuler.

Akhirnya, di hari lahirnya NU yang ke-83 ini, kita hanya bisa berdoa semoga NU tetap bisa mengikuti perkembangna zaman yang sedang menuju ke peradaban yang mungkin lebih menantang. NU sebagai organisasi kemasyarakatan diharapkan mampu untuk membawa bangsa Inidonesia menuju perkembangan zaman. Jangan sampai kita mengalami perpecahan yang lebih serius dalam menghadapi setiap perbedaan. Baik dalam perbedaan pemikiran, perbedaan aliran politik maupun perbedaan prinsip. Karena dengan beragam perbedaan yang saling menghargai ini akan tercipta sebuah kematangan intelektual yang pada akhirnya akan membentuk sebuah peradaban yang tinggi secara evolutif.

Perbedaan pilihan partai politik yang kini dialami warga NU seyogyanya tidak merusak tali silaturrahmi para ulama NU. Kita harus menyadari bahwa dalam setiap perbedaan ini akan memiliki rahmat, itu pun jika kita mau berpikir dengan jernih. Bahkan, hal itu telah dijelaskan Nabi dengan gamblang. Mudah-mudahan dengan refleksi harlah ke-83 NU ini, kita dapat menyambung tali silaturrahim dan benar-benar menjadi generasi yang terlahir untuk memimpin zaman ini di masa mendatang.

*Penulis adalah Staf Peneliti pada FKiY Yogyakarta


Terkait