Opini

Nyadran dan Penguatan Nasionalisme

Kam, 7 Juni 2018 | 01:00 WIB

Nyadran dan Penguatan Nasionalisme

Salah satu bentuk nyadran dengan menggelar makan bersama.

Oleh: Hamidulloh Ibda

Umat Islam di Jawa Tengah bahkan di Nusantara melakukan nyadran menjelang Ramadhan, bahkan di sebagian daerah sampai menjelang Idul Fitri. Secara umum, nyadran memang dilakukan menjelang Ramadhan. Tapi di sebagian daerah, justeru nyadran dilakukan menjelang Idul Fitri.

Tradisi ini memiliki nilai adhiluhung. Mulai dari religiusitas, kearifan lokal, dan nasionalisme. Nyadran juga wujud relasi antara manusia, leluhur, alam, dan Tuhan. Di tengah gempuran paham konservatif dan radikal saat ini, masyarakat harus melestarikan kearifan lokal dan nasionalisme. Tujuannya, membentengi berkembangnya ideologi terorisme dan transnasional yang mengusik NKRI.

Adanya faham takfiri (mengafirkan), tabdi’ (membidahkan), tasyri’ (mensyirikkan) merupakan bentuk pemahaman Islam konservatif, kaku, dan doktriner. Puncaknya, paham ini berbentuk tindakan keji berupa merusak sampai ngebom. Padahal, teror bukan jihad dan ajaran Islam.

Agama tak sekadar urusan doktrin ideologis. Agama harus dipahami sebagai realitas sosial. Maka perbuatan sehari-hari tak boleh kaku karena harus sesuai konteks, lingkungan, budaya dan kebutuhan zaman.

Orang berpaham kaku dan konservatif cenderung inferior dengan bangsanya sendiri karena tak memiliki spirit nasionalisme. Mereka berpaham 'yang lain salah kecuali aku'. Seolah-seolah surga sudah 'dikapling' dan yang tak sepaham tempatnya di neraka. Jika demikian, wajar jika ada aksi terorisme.

Cara dakwah mereka pun 'memukul' bukan merangkul. Doktrin jihad harusnya memajukan justeru menjadi 'jahat'. Dari sini, tradisi nyadran menjadi bagian menggerakkan dan menguatkan nasionalisme. Jika masyarakat semuanya nasionalis, tak mungkin ada pengeboman karena mereka cinta tanah air.

Merawat Kearifan Lokal

Idiom nyadran sudah menasional. Dari aspek etimologis, nyadran diambil dari berbagai bahasa. Pertama, bahasa Indonesia, dalam KBBI (2010), sadran-menyadran diartikan mengunjungi makam pada bulan Ruwah untuk memberikan doa kepada leluhur (ayah, ibu, dan lainnya) dengan membawa bunga atau sesajian.

Kedua, bahasa Sanskerta, sraddha artinya keyakinan. Ketiga, nyadran dalam Bahasa Jawa berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban lantaran dilakukan sebelum Ramadhan. 

Keempat, nyadran diambil dari Bahasa Arab, shadrun yang berarti dada. Khamim (2018) berpendapat menjelang Ramadhan, masyarakat harus ndada (introspeksi diri), menyucikan diri dari aspek lahir dan batin.

Di berbagai daerah, nyadran memiliki idiom dan praktik beda. Di Semarang, Demak, Kendal, para warga datang ke kuburan mendoakan leluhur/kedua orang tua. Ada yang membawa makanan dan ada yang tidak. 

Di Grobogan, Pati, dan sekitarnya, selain berkunjung ke kuburan, nyadran disebut megengan dipraktikkan lewat tasyakuran bersama di mushala/masjid sebelum Ramadhan. Di Blora, nyadran dipraktikkan dengan besik kubur (membersihkan kuburan) dari kotoran. Di Temanggung, Magelang, Salatiga, Solo, Yogyakarta, nyadran dilakukan di tiap dusun atau kampung dengan berziarah ke kuburan. Mereka melakukan tahlil, doa bersama, meminta ampunan dan keseimbangan dengan alam.

Dalam konteks sosial, nyadran menjadi rangkaian budaya mulai dari pembersihan makam leluhur dan tabur bunga dan mendoakan mereka. Di sejumlah tempat, nyadran berkembang menjadi 'paket wisata' budaya dan religi karena hanya ada di Nusantara ini.
Di Jawa Timur, sebagian orang melakukan nyadran seperti di Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Surabaya, Gresik dan lainnya. Meski berbeda, di Jawa Barat juga sama, namun secara umum berbeda karena tidak ada tradisi makan bersama di kuburan. Mereka hanya datang ke kuburan, tabur bunga, mendoakan, lalu pulang.

Pemeluk Islam di Nusantara memang unik. Hampir tiap tradisinya berkaitan dengan Tuhan, alam, dan manusia. Contohkan saja nyadran, krayahan, kondangan, bancakan, manganan, megengan, dan lainnya. Selain ada makan-makan, sedekah, mereka melakukan doa-doa dan membaca ayat Al-Qur'an. Tradisi ini harus dijaga sebagai khazanah budaya dan identitas bangsa.

Nyadran membangun masyarakat menjadi seimbang dan sesuai ruh Islam. Lewat nyadran, mereka mampu menciptakan kemesraan ruhani antara manusia (hablum minannas), Tuhan (hablum minallah) dan alam (hablum minalalam).

Nyadran tak hanya urusan religi, namun erat kaitannya dengan budaya, nasionalisme, bahkan pariwisata. Pemahaman nyadran harus komprehensif dan berbasis masa depan. Lewat nyadran bangsa ini menjadi besar karena memegang teguh identitas, kearifan lokal, dan nasionalisme.

Nasionalisme

Kuatnya nasionalisme menjadi syarat terwujudnya bangsa besar. Nasionalisme dan religiusitas bisa sepaket. Kita memiliki imperium ideologi bangsa berupa Pancasila. Ditambah pilar Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Semua itu sudah final karena dulu sebelum perumusan Pancasila, KH Hasyim Asyari pendiri NU melakukan puasa berbulan-bulan meminta petunjuk pada Allah.

Hasilnya, ketika Bung Karno bertanya pada Mbah Hasyim, nasionalisme yang ditambahi dengan niat ibadah dan bacaan basmalah sudah islami. Nasionalisme dengan doktrin hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) harus digerakkan dengan sikap superior. Mulai dari nasionalisme budaya, kewarganegaraan, etnik, romantik, sampai nasionalisme religius/agama. Jika ini dipegang kuat, maka tak mungkin ada terorisme.

Dalam nyadran, ada beberapa landasan menguatkan nasionalisme dan spirit religiusitas. Pertama, rasa gembira, bungah, dan syukur atas kehadiran Ramadhan diwujudkan dengan tasyakuran nyadran. Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa bergembira dengan kehadiran Ramadhan, Allah mengharamkan jasadnya disentuh api neraka.” Tak ada orang nyadran susah, justeru mereka bergembira lewat sedekah makanan pada saudara bahkan pada alam.

Kedua, nyadran yang diikuti bacaan yasin, kalimat tayibah, dan doa-doa sangat berpotensi menggapai kemuliaan di bulan Syaban. Rasulullah bersabda, “Bulan Rajab bulan menanam. Syaban bulan menyiram tanaman dan Ramadhan bulan memanen tanaman.”

Ketiga, penguatan nasionalisme ini bisa dilakukan lembaga pendidikan, MI/SD-SMA/SMK/MA sampai perguruan tinggi dan komunitas budaya yang bermuara pada karakter toleran dan humanis. Spirit transnasional yang mencetak generasi antitradisi dan antinasionalisme harus diputus lewat pembudayaan dan literasi toleransi.

Keempat, nyadran menjadi cara merawat tradisi agama-budaya dan nasionalisme. Kuatnya tradisi lokal suatu bangsa, maka nasionalisme makin kuat. Jika sudah kuat, tak mungkin masyarakat meneror. Nasionalisme harus dikuatkan untuk memutus embrio terorisme. Jika tidak sekarang, apakah mau kita diteror tiap hari?

Penulis adalah kader penggerak NU, dosen dan Kaprodi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Terkait