Opini

Pendidikan Keluarga dan Tantangannya

Rabu, 5 Juli 2017 | 11:30 WIB

Oleh Waliyadin

Pendidikan keluarga memainkan peranan penting bagi perkembangan kehidupan seorang anak. Pendidikan dan pembelajaran 24 jam di sekolah pun belum tentu bisa menandingi efektifitas pendidikan keluarga lantaran ikatan emosional orang tua dan anak yang sudah terbentuk sejak awal masa kehidupannya.
 
Di dalam keluarga seorang anak mulai menyerap segala macam nilai-nilai pendidikan mulai dari mengenal bagaimana dunia ini bekerja, norma dan sistem nilai yang berlaku, bahkan keyakinan pada agamadimulai dari pendidikan yang ditanamkan kepada anak oleh orangtuanya. Di keluarga pulalah, kecerdasan dan perkembangan karakter dan budi pekerti seorang anak mulai berkembang. Boleh jadi itulah yang mendorong kementerian pendidikan dan kebudayaan menggalakan penguatan peran keluarga dalam pendidikan anak.
 
Namun demikian, pendidikan keluarga tidak lepas dari tantangan dalam pelaksanaanya. Nyatanya, masih kerap dijumpai keluarga yang tidak tuntas mengantarkan anaknya menjadi pribadi yang berhasil seutuhnya. Dengan perkataan lain masih banyak ditemui kegagalan pendidikan keluarga untuk mencetak generasi “jenius” meminjam istilah Karen Armstrong dalam bukunya Awakening Genius in the Classroom (1998).
 
Padahal, sejatinya setiap anak dalam keadaan jenius memiliki rasa ingin tahu yang besar (curiosity), semangat hidup yang tinggi (vitality), riang gembira (cheerful), menikmati hidup (joyfulness), dan sederet sifat dasar anak lainnya yang menunjukkan kejeniusan mereka.
 
Masih mengutip gagasan yang dipaparkan oleh Armstrong, dalam buku tersebut dinyatakan bahwa lingkungan keluarga yang tidak kondusif justru mematikan kejeniusan seorang anak lantaran ada beberapa kondisi yang memicu terjadinya kerusakan kejeniusan anak. Pertama, disfungsi emosional merupakan kondisi dimana emosi seorang anak tidak berfungsi sebagaimana seharusnya.
 
Hal ini terjadi karena kondisi keluarga yang kacau lantaran orang tua ketergantungan minuman keras atau narkoba, pola makan yang tidak sesuai, kondisi keluarga yang penuh kekerasan, kehawatiran yang berlebihan dan depresi. Kondisi-kondisi seperti itulah yang menyebabkan seorang anak tidak memiliki gairah hidup, rasa ingin tahu menjadi redup, takut berbuat kesalahan, tingkat kebahagian hidup rendah yang menandakan matinya kejeniusan seorang anak. 

Kedua, kemiskinan dalam kehidupan keluargamenuntut orangtua menghabiskan banyak waktu untuk mencari penghidupan sehingga hampir tidak ada waktu untuk menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak untuk belajar. Kemiskinan yang terus berlangsung dalam kehidupan keluarga inilah yang pada akhirnya menyebabkab seorang anak depresi dan kehilangan vitalitasnya karena mereka merasa kurang beruntung bila dibandingkan dengan temannya yang memiliki tingkat sosial dan ekonomi yang lebih baik. Kondisi tersebut akan semakin diperparah manakalaorangtua tergolong buta aksara karena tidak ada stimulus verbal yang bisa disampaikan oleh orang tua kepada anak untuk tetap memicu kecerdasannya.

Ketiga, gaya hidup yang penuh dengan ketergesa-gesaan (fast tract life style). Jika sebelumnya karena kondisi ketiadaan harta, kali ini justru karena orangtua bergelimang harta yang memicunya untuk menjalani hectic lives, kehidupan yang begitu padat dengan aktivitas menumpuk harta, kekayaan, dan kedudukan dalam karir tertentu. Tak ayal, orang tua tidak punya waktu untuk bercengkrama dengan anak. Karena persoalan kesempatan dan kesempitanwaktu itu, orangtua berusaha mendorong anaknya untuk berkembang lebih cepat meski belum waktunya.
 
Misalnya, sejak usia dini mereka dipaksa untuk mampu menguasai banyak keterampilan yang melampaui kapasitasnya sebagai seorang anak. Masa anak-anak yang penuh dengan kehidupan bermain ria direnggut oleh keculasan orang tua. Kondisi semacam itulah yang membawa dampak buruk bagi anak misalnya anak menjadi tertekan, depresi, rasa takut berlebihan, sakit kepala, dan kesulitan untuk berkonsentrasi saat belajar.
 
Keempat, kondisi dimana orang tua menerapakan ideologi yang rigid dengan cara mengasuh anak dalam lingkungan yang serba mencekam dan penuh kebencian manakala seorang anak tidak mau patuh dengan ideologi yang dianut oleh orang tua. Ideologi ini bisa menurut agama dan kepercayaan yang dianut oleh orangtua atau mungkin landasan filosofis yang dianut olehnya. Lingkungan keluaraga yang seperti itu menjadikan anak selalu merasa curiga dan tidak memiliki alternatif dalam bertindak, sensitivitas terhadap keberagaman menjadi mati, keluwesan dalam berfikir pun menjadi beku.

Agaknya itulah kondisi dilingkungan keluarga yang perlu dihindari bagi setiap orangtua yang memikul tanggung jawab awal mendidik putra-putrinya. Jangan sampai lingkungan keluarga yang sejatinya lingkungan yang paling ideal untuk menjadikan seorang anak menjadi generasi yang berguna bagi dirinya sendiri, orangtua, nusa, bangsa dan agama sudah dimatikan potensinya oleh orangtuanya sendiri.
 
Kondisi-kondisi itu pulalah yang perlu menjadi perhatian bagi para pemangku kebijakan dalam hal ini kementrian pendidikan dan kebudayaan yang akan menerapkan kebijakan full day school melalui sekolah lima hari. Kebijakan itu memang menghendaki tersedianya banyak waktu antara orangtua dengan anak. Namun, ketersediaan banyak waktusaja tidak cukup masih ada banyak hal yang semestinya ada di lingkungan keluarga yakni figur orangtua yang baik, terpenuhinya kebutuhan dasar setiap keluarga, serta ideologi demokratis dalam mendidik anak.
 
Dengan terciptanya kondisi keluarga yang kondusif dan terbebasnya dari permasalahan keluarga, maka harapan terciptanya generasi jenius hasil proses pendidikan keluarga bisa terpenuhi. Sebaliknya jika belum bisa terpenuhi maka penguatan pendidikan keluarga sepertinya akan terus mengalami hambatan.
 
Mahasiswa Pascasarjana University of Canberra dan Penerima Beasiswa Luar Negeri Program 5000 Doktor Kementerian Agama.


Terkait