Opini

Revitalisasi Resolusi Jihad NU

Ahad, 16 November 2008 | 23:00 WIB

Oleh Muhibin A.M.

Setelah dua bom atom dijatuhkan tentara sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, seluruh elemen pasukan Jepang di wilayah-wilayah jajahannya melemah. Mereka merasa tepukul oleh peristiwa mengerikan itu dalam sejarah bangsanya. Pada akhirnya, Jepang harus menyerah kalah dan menarik seluruh pasukannya dari konsentrasi-konsentrasi jajahannya. Saat itulah Indonesia yang sebelumnya memperoleh janji kemerdekaan dari Jepang tidak mau menunggu lama-lama. Para pemuda Indonesia, saat mengetahui posisi Jepang sedang lemah, dengan gerakan khas revolusioner, pada akhirnya Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan melucuti senjata tentara Jepang tanpa syarat.

Namun, peristiwa itu bukan serta merta membuat Indonesia bebas dari penjajahan. Pada pertengahan September 1945, pasukan Inggris dengan nama NICA (Netherland Indies Civil Administration) mendarat di Jakarta. Selama Oktober, pasukan Inggris menduduki sebagian besar wilayah Sumatera (Medan, Padang dan Palembang), Bandung (Jawa Barat) dan Semarang (Jawa Tengah). Sedangkan kota-kota besar di Indonesia bagian timur diduduki Australia. Namun, saat ingin menaklukkan Jawa Timur, pasukan Inggris yang diboncengi NICA mendapat perlawanan keras dari para kiai dan santri di hampir seluruh Jatim, yang merupakan kaum nahdliyin (warga Nahdlatul Ulama/NU). Apalagi saat itu bergema “Resolusi Jihad” yang difatwakan Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy’ary kepada warga NU, jelas merupakan sumber semangat baru menghadapi penjajah.<>

MC Ricklefs (1991) menyebutkan ribuan kiai dan santri yang notabene warga NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada 21-22 Oktober 1945, dipimpin Rais Akbar NU KH Hasyim Asy'ary. Saat itu, kiai yang paling kharismatis di pulau Jawa tersebut mendeklarasikan "Resolusi Jihad" yang isinya, antara lain, mempertahankan Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 yang diproklamasikan Soekarno-Hatta.

Resolusi Jihad merupakan fatwa tentang kewajiban perang melawan kaum imperialis, dan membentuk laskar perang. Para sejarahwan mengakui pengaruh besar Resolusi Jihad dalam perlawanan. Dua pekan kemudian, tepatnya 10 November 1945, meletuslah perang antara pasukan Inggris dengan masyarakat pribumi selama tiga pekan. Peristiwa itu dianggap sebagai perang terbesar sepanjang sejarah Nusantara, yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.

Tentu hal itu menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagi NU dalam perjuangan fisik mengusir penjajah, apalagi Resolusi Jihad tersebut dapat mengubah dan memengaruhi mentalitas di hampir seluruh umat Islam dan lebih khususnya kalangan nahdliyin, yang semula bermental toleran menjadi radikal demi sebuah perjuangan mempertahankan kemerdekaan dalam kerangka jihad.

Dalam perkembangan selanjutnya, NU menyelenggarakan Muktamar ke-16 di Purwokerto, Jawa Tengah, pada 26-29 Maret 1946. NU kembali mencetuskan "Resolusi Jihad" yang mewajibkan tiap umat Islam untuk bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kewajiban itu dibebankan kepada setiap muslim, terutama laki-laki dewasa, yang berada dalam radius 94 kilometer dari tempat kedudukan musuh. (Radius 94 diperoleh dari jarak diperbolehkannya menjamak dan meng-qoshor salat). Di luar radius itu, umat Islam lainnya wajib memberikan bantuan. Jika umat Islam yang dalam radius 94 kalah, maka umat Islam lainnya wajib memanggul senjata menggantikan mereka.

Pertanyaannya, ke mana posisi NU dalam catatan sejarah perjuangannya, yang pernah memberikan kontribusi paling besar dalam perang 10 November 1945 tersebut? Sungguh sangat ironis, dalam cacatan sejarah dan dalam dunia politik masa lalu yang selalu menghilangkan identitas NU dalam catatan sejarah dan peran politiknya. Padahal, tanpa bantuan Resolusi Jihad serta tanpa bantuan pasukan dari kalangan santri dan kiai, jelas pasukan Tentara Keamanan Rakyat (selanjutnya berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia) saat itu akan mengalami kekalahan telak. Adanya Resolusi Jihad, para penjajah yang semula menyepelekan kekuatan pasukan kemerdekaan, justru terkagum-kagum melihat kekuatan pasukan Indonesia di pertempuran 10 November 1945.

Namun, semua itu tidak begitu penting untuk dipermasalahkan, biarlah sejarah nantinya akan menjawabnya sendiri. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita kembali pada semangat Resolusi Jihad itu dalam konteks Indonesia saat ini. Apakah menghidupkan Resolusi Jihad itu kita maknai dengan perang mengangkat senjata sebagaimana kaum teroris yang menjual nama Islam untuk membenarkan aksinya.

Dalam hal ini, kita harus bisa memaknai Resolusi Jihad dengan membangun masyarakat yang jauh dari wacana disintegrasi bangsa yang sudah semakin terancam posisinya. Di samping itu, Resolusi Jihad juga harus bisa dimaknai dengan perang memberantas korupsi yang sudah merajalela di negeri ini. Dua permasalahan itulah yang saat ini mengancam posisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kehancuran perekonomian Indonesia yang sebenarnya tidak pantas dialami negara yang memiliki kekayaan alam sangat melimpah.

Pembentukan partai politik yang memiliki basis massa NU sudah seharusnya dijadikan jembatan untuk memberantas kemungkaran. Merangkul semua kalangan untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa demi terciptanya negara yang aman, damai dan sejahtera dalam wadah NKRI. Partai politik berbasis NU jangan hanya dijadikan jembatan untuk memperkaya diri, karena hal ini sungguh sangat pertentangan dengan semangat Resolusi Jihad. Dalam keadaan dan dalam posisi apa pun, perjuangan NU hanya untuk tegaknya nilai-nilai Islam dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa.

Penulis adalah santri Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim ‘Asy’ary, Yogyakarta

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Terkait