Tak seperti malam biasanya, khusus menyambut peringatan hari kemerdekaan ke-72 RI kegiatan pondok diliburkan. Sekitar 500-an santri berkumpul di halaman pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak, Jawa Tengah, memakai sarung, baju lengan panjang, dan peci hitam pada Rabu (16/8)
Mereka membentuk barisan layakanya tentara. Menghadap kiblat. Beberapa lampu pondok sengaja dipadamkan. Hanya ada satu sumber cahaya, yaitu sebuah lampu yang digantung di pohon kelapa di muka barisan.
Di tengah-tengah halaman, sebuah bambu berdiri ditopang segitiga bambu yang menyerupai tripod dengan tali pengerek bendera menjulur. Di sebelah utara barisan berdiri sekelompok santri dengan seragam sarung, jas, dan peci hitam. Mereka adalah pasukan paskibraka pondok. Di samping mereka, berdiri secara terpisah komandan upacara, petugas pembaca undang-undang, dan pengiring inspektur.
Petugas pun memulai upacara. Sang komandan memasuki lapangan. Semua santri tampak tenang dan khidmat. Angin malam berembus sepoi-sepoi, menyapu daun, lalu menimbulkan bunyi sayup-sayup. Menambah khusyuk suasana.
Segenap pengurus dan dewan asatidz pondok pun turut serta di dalamnya. Berbaris di sebelah selatan berhadapan dengan pasukan paskibraka pada jarak kurang lebih 20 meter. Salah satu pengurus, Kang Ahmad Sahal, bertindak sebagai inspektur upacara.
Begitu dipersilakan, Kang Sahal memasuki lapangan menaiki meja kecil yang sudah dipersiapkan. Sang komandan lalu mengintruksikan hormat pada inspektur dan seluruh peserta mengikutinya.
Suasana menjadi semakin hening ketika petugas paskibraka bergerak. Saat bendera telah siap dan semua pasukan mengambil sikap hormat, semua santri bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Mereka tampak bersemangat, suaranya melengking tinggi, seolah-olah ingin didengarkan oleh makhluk seantero jagad.
Pekik kemerdekaan menggema ketika inspektur upacara menyampaikan amanat. "Merdeka! Merdeka! Merdeka!" Semua santri memekik dengan tangan mengepal. Dalam amanatnya, Kang Sahal menekankan pentingnya mensyukuri kemerdekaan.
"Sebagai santri, cara mensyukuri kemerdekaan adalah dengan mengaji, mengaji, dan mengaji," ucapnya dengan lantang.
Kang Sahal juga mengingatkan bahwa NKRI adalah harga mati. Ia menuturkan bahwa sekarang banyak ormas yang tidak mencintai tanah airnya, tidak segaris dengan konstitusi.
"Kita harus mencintai tanah air, karena hubbul wathan minal iman (cinta tanah air bagian dari iman)." tegasnya.
Upacara itu diakhiri dengan penyalaan petasan kembang api di beberapa sudut pesantren. Kembang api itu membubung tinggi ke langit, menciptakan cahaya yang indah dan bunyi-bunyi yang meriah.
Upacara kemerdekaan merupakan tradisi rutinan di pondok pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak, sebagaimana di Pesantren-pesantren yang lain.
"Setiap malam tanggal 17 Agustus kami selalu melakukan upacara kemerdekaan. Bagi kami ini juga bagian dari mengamalkan hubbul wathan minal iman," ucap Kang Solihul Hadi, salah satu pengurus Futuhiyyah. (Muhammad Salafuddin/Ben Zabidy/Mahbib)