Pesantren

Pesantren Manbaul Ulum Utamakan Pendidikan Nonformal

Senin, 9 September 2013 | 00:02 WIB

Probolinggo, NU Online
Sejak didirikan tahun 1986 silam oleh KH. Syamsul Hidayat (74 tahun) Pesantren Manbaul Ulum yang terletak di Kelurahan Sumbertaman Kecamatan Wonoasih Kota Probolinggo terus mengalami perkembangan. Dari waktu ke waktu, santri yang mondok di pesantren ini terus berdatangan. Namun Kiai Sam Hadi, panggilan akrab KH. Syamsul Hidayat belum mau mendirikan asrama.
<>
Asrama baru didirikan oleh Kiai Sam Hadi tahun 1990 silam. Meskipun hanya terbuat dari bilik bambu, tetapi keberadaan asrama tersebut dapat memberikan rasa nyaman bagi santri yang mondok di pesantrennya.

Tidak seberapa lama setelah asrama berdiri, tepatnya 1 Mei 1990 silam, santri mulai berdatangan dan terus bertambah sehingga Kiai Sam Hadi mulai kewalahan. Oleh karenanya, dirinya memberikan perintah kepada putra-putrinya untuk membantunya. Mereka adalah Akhmad Mutadul Anam, Luluk Mahmuda serta Akhmad Fathur Rozi dengan dibantu oleh sanak famili dan para santri senior ikut membantu memberikan pengajaran agama.

Baru kemudian pada tahun 1992, seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman, metode pengajaran dengan sistem pendidikan formal mulai dilakukan. Pada tahun tersebut, didirikanlah Madrasah Tsanawiyah Manbaul Ulum (setingkat SLTP), dimana aplikasi pendidikannya mengacu pada Departemen Agama Republik Indonesia.

Sebelumnya sudah ada Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Islam dan Madrasah Mu’allimin (sekolah khusus bagi pendidikan guru). Namun sejak aplikasi dilakukan, MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan MM (Madrasah Mu’allimin) yang sebelumnya berkurikulum 100 persen agama, langsung disesuaikan. MI tetap dengan nama yang sama, sedangkan MM berubah nama menjadi Madrasah Diniyah Awwaliyah.

Perkembangan berikutnya cukup signifikan. Setelah Madrasah Tsanawiyah berjalan tiga tahun dan berhasil mengeluarkan siswanya pada tingkat kelulusan yang bagus, maka pada tahun 1992 didirikanlah Madrasah Aliyah Manbaul Ulum (setara SLTA), sedangkan Madrasah Diniyah Awwaliyah menambah jenjang dengan Madrasah Diniyah Wustho (tingkat menengah) dan Madrasah Diniyah Ula (tingkat atas).

“Ditingkatkannya posisi Madrasah Diniyah ini disebabkan sebuah kesadaran bahwa waktu pembagian pelajaran agama berdasarkan kurikulum formal tidak mencukupi bagi santri untuk memahami ajaran agamanya,” ungkap Kiai Sam Hadi.

Setelah sekian lama, walaupun tidak sepesat perkembangan pesantren yang lain, Pesantren Manbaul Ulum tetap mengutamakan pendidikan non formal, khusus pelajaran-pelajaran salaf yang bersumber dari kitab-kitab peninggalan ulama-ulama salaf. Atau, lebih terkenal dengan sebutan kitab kuning.

Pendidikan non formal tetap diutamakan meskipun Kiai Sam Hadi sempat khawatir. Karena sudah banyak pesantren-pesantren lain di Kota Probolinggo dan sekitarnya yang mengembangkan sistem modern. ”Saya yakin untuk ke depannya,  pendidikan di Manbaul Ulum tetap akan terus berkembang,” jelasnya.

Menurut Kiai Sam Hadi, saat ini Pesantren Manbaul Ulum memiliki 500 santri, terdiri dari 200 santri putra dan 300 santri putri. ”Saya berharap setelah keluar dari sini semua santri bisa berguna di masyarakat. Insya Allah, para alumni santri disini bisa menjadi kiai nantinya di tengah masyarakat,” terang kiai yang sudah mempunyai 9 cucu ini.

Salah satu yang menarik dari Pesantren Manbaul Ulum adalah kerja sama yang baik antara pesantren dengan masyarakat umum. Kerja sama yang baik tersebut dibuktikan dengan kemauan masyarakat untuk membantu pembangunan. Semua pembangunan di pesantren berasal dari dana pribadi pesantren dan bantuan warga. Sehingga bisa menjadi sebesar ini tidak ada bantuan dari pemerintah.

“Bukannya kami menolak bantuan pemerintah, selagi masih mampu untuk terus membesarkan pesantren, kami tidak akan meminta bantuan ke pemerintah. Biarkan saja, urusan pemerintah masih banyak yang harus dibenahi. Di luar sana masih banyak anak yang putus sekolah dan tidak diperhatikan oleh pemerintah,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Mahbib)


Terkait