Pesantren

Raudlatul Istiqomah Menuju Pesantren Berbasis Wirausaha

Selasa, 7 Oktober 2014 | 04:20 WIB

Probolinggo, NU Online
Secara resmi Pesantren Raudlatul Istiqomah sudah berusia 40 tahun atau sudah empat dasawarsa. Pendirinya adalah KH. Abdul Basith As’ad. Namun perintis syiar Islam sebagai cikal bakal berdirinya pesantren sudah berlangsung pada masa leluhurnya.
<>
Pesantren yang berada di Desa Suko Kecamatan Maron Kabupaten Probolinggo ini berdiri pada tahun 1974 silam. Saat ini tidak hanya memakai sistem salafi, tetapi juga pembelajaran modern atau formal. Bahkan sudah mengembangkan usaha mandiri untuk santri.

Ketua Bidang Pendidikan Yayasan Raudlatul Istiqomah al Basithiyah Syaiful Anwar mengungkapkan cikal bakal pendirian pesantren sudah ditancapkan KH Zainuddin, ayah mertua dari KH Abdul Basith As’ad. Kiai yang akrab disapa dengan panggilan Non Basith ini merupakan keluarga besar dari Pesantren Zainul Hasan Genggong. Ia adalah putra dari KH As’ad menantu dari KH Muhammad Hasan Genggong.

“Menurut penuturan kiai, waktu itu beliau diberi petunjuk oleh KH Muhammad Hasan Syaifurridzal untuk mendirikan pesantren. Kebetulan oleh ayah mertuanya ia diizinkan,” ujar Anwar, Senin (6/10) pagi.

Pesantren yang didirikan Non Basith, bukan di lokasi yang sekarang ini, namun berada di Desa Rondokuning Kecamatan Kraksaan. Pada masa itu, kultur budaya masyarakat Desa Rondokuning dan sekitarnya dipengaruhi oleh budaya Madura yang keras. Banyak persoalan yang penyelesaiannya dilakukan dengan hukum rimba. Nyawa dibayar nyawa. Padahal tindakan yang diambil oleh warga itu banyak yang tidak sesuai syariat.

“Beliau berdakwah di desa-desa sekitar ini. Selain menyebarkan syariat Islam, beliau juga mencoba melunakkan watak warga dengan dzikir. Majelis dzikir itu dilaksanakan di musholla,” kata ayah tiga anak ini.

Meski masih berusia muda kala itu, Non Basith kemudian secara resmi mendirikan pesantren. Santri pertamanya sekitar 10 orang. Karena masih muda, ia tetap dibimbing ayah mertuanya dan KH Muhammad Hasan Syaifurridzal. Pemondokan santri dari bangunan sederhana yang terbuat dari gedek. Semuanya didirikan bersama warga sekitar. “Namanya waktu itu adalah Darul Istiqomah,” ujarnya.

Kemudian sekitar tahun 1984, pesantren ini dipindah sekitar 50 meter dari tempat semula. Di tempat ini, bangunan pondok sudah berapa bangunan permanen. Peningkatan jumlah santri juga signifikan. Pada tahun 1998, pesantren ini pindah lagi. Kali ini lebih jauh lagi sekitar 15 kilometer dari Desa Rondokuning yakni Desa Suko Kecamatan Maron.

“Pesantren ini mendapatkan tanah wakaf dari HM Darmo warga Kota Probolinggo seluas 8.000 meter persegi di pinggir jalan raya. Kebetulan waktu itu kiai mempunyai cita-cita untuk mengembangkan pesantren agar lebih maju. Sedangkan lokasi yang lama jauh dari akses jalan raya, akhirnya tahun itu juga pindah,” jelas pria asal Desa Kertosono Kecamatan Gading Kabupaten Probolinggo ini.

Tak hanya lokasi pondok yang pindah, nama pun juga mengalami perubahan. Jika sebelumnya bernama Darul Istiqomah, kemudian berganti menjadi Raudlatul Istiqomah.
Kiai Abdul Basith wafat pada awal tahun 2005. Selanjutnya kepengasuhan pesantren ada tangan keponakannya, Ahmad Juaini As’ad. Ia merupakan putra dari kakaknya yakni KH Abdul Munif As’ad.

Ketika wafat Kiai Basith meninggalkan tujuh putra dan putri. Yakni, Khulyatul Nikmah, Yuhanit, Fatihul Birri, As’adul Kholqih dan Hakimatul Amalia. “Putra putri beliau masih belia semua, sehingga diputuskan dalam rapat keluarga untuk diberikan kepada Gus Jon (Ahmad Juani As’ad,” terangnya.

Pada era kepemimpinan Gus Jon ini, Pesantren Raudlatul Istiqomah mempunyai lembaga pendidikan komplit. Lembaga pendidikan formal yang berdiri terdiri dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Raudlatul Athfal (RA), Sekolah Dasar Islam (SDI),Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Sementara pendidikan informal dilangsungkan pada malam hari.

“Sebelumnya pada masa Non Basith, hanya diajarkan pendidikan salafiyah saja,” kenang santri yang terus mengabdikan dirinya di Pesantren Raudlatul Istiqomah ini.

Pembelajaran informal yang diberikan pada santri meliputi pelajarah nahwu, shorrof, baca kitab kuning, tafsir dan pelajaran agam lainnya. Pendidikan informal ini terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yakni tingkat ula (awal), wustho (pertengahan) dan ulya (atas).

“Tak ada yang berbeda dengan kegiatan pembelajaran di pesantren ini. Hanya saja pendidikan disini ada tambahannya. Yakni sekolah agama. Khusus sore hari, kami bebaskan para santri untuk beristirahat atau belajar,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Mahbib)


Terkait