Cak Duki: UU Pariwisata dan Otonomi Daerah Harus Mengadopsi UU Perlindungan Anak
Kamis, 13 Januari 2005 | 01:56 WIB
Jakarta, NU Online
Maraknya perdagangan anak untuk eksploitasi seksual komersial terhadap anak (ESKA) khususnya di lingkungan pariwisata di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kurangnya sosialisasi atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Akibat sosialisasi yang kurang maksimal itu, Kepolisian RI sebagai aparat penegak hukum seringkali menjerat para pelaku perdagangan anak untuk tujuang ESKA, dan demikian para pelaku itu sendiri dengan tuduhan kriminal biasa, misalnya dengan pasal 378 KUHP tentang penipuan, atau pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. Jika sosialisasi atas UU Perlindungan Anak dilakukan secara massif, keengganan kepolisian dalam menjerat pelaku perdagangan anak untuk tujuan ESKA atau trafficking dengan UU Perlindungan Anak akan dicegah secara langsung oleh masyarakat.
Demikian dikemukakan H. Masduki Baidlowi, anggota komisi X DPR-RI bidang Pendidikan, kebudayaan, pariwisata, pemuda dan olah raga dalam lokakarnya nasional yang diselenggarakan Pengurus Pusat Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (PP LPNU) mengenai "Peran Serta Agamawan Dalam Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial di Lingkungan Pariwisata", Rabu, (12/1) di Hotel Le Meridien Jakarta.
<>Lebih jauh, Masduki memaparkan, karena kurangnya sosialisasi atas UU No. 23/2002, masyarakat yang ditempatkan bersama-sama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga negara sebagai harus bertanggungjawab terhadap perlindungan anak, kontrol atas kinerja kepolisian sebagai penegak hukum pun kurang menggigit.
Dalam kasus perdagangan anak untuk ESKA siswi-siswi SMP di Menteng Atas Jakarta bulan Mei 2004, dan kasus trafficking di Desa Jambak dan Amis Kabupaten Indramayu Agustus 2004, dan kasus perdagangan Mina (17 th) dari kabupaten yang sama untuk pemerasan, polisi tampak sengaja tidak menggunakan payung negara tentang perlindungan anak, yaitu UU No. 23/2002, polisi lebih suka menggunakan pasal-pasal kriminal biasa KUHP.
"Tanpa sosialisasi yang massif terhadap UU No. 23 Tahun 2003, kepolisian bisa dengan sesukanya menjerat pelaku dengan KUHP bila pelaku kejahatan mampu membayar uang, dan bila tidak mampu mungkin baru akan dijerat dengan UU Perlindungan Anak yang jelas tegas dan menggigit," tegas Masduki.
Akibat dari kurangnya sosialisasi atas payung hukum negara tentang perlindungan anak, tambah Masduki, meski ada payung negara untuk mencegah dan melindungi anak dari ESKA, menurut perkiraan jumlah anak yang menjadi korban kejahatan ESKA ini mencapai angka ratusan ribu setiap tahunnya, dengan besaran permasalahan yang sebenarnya masih belum diketahui dengan jelas. Tidak ada penelitian lengkap yang pernah dilakukan mengenai masalah ini. Sumber resmi pemerintah (Buku Putih Binrehabsos 2000) mencatat jumlah pekerja seks di Indonesia mencapai 73.990 orang. Tetapi sumber lainnya mencatat bahwa di Indonesia sedikitnya ada 650.ribu pekerja seks dan 30 persennya berusia di bawah 18 tahun, atau masih berstatus anak.
Pelacuran anak juga berkait erat dengan eksploitasi anak dalam bidang pornografi. Pemaksaan anak untuk masuk ke dalam dunia pornografi seringkali merupakan faktor pencetus eksploitasi anak ke dalam dunia pelacuran. Di Bali, diketahui bahwa anak-anak dieksploitasi ke dalam dunia pornografi untuk konsumsi para pedofil (orang-orang dewasa yang suka melakukan eksploitasi seksual terhadap anak).
"Padahal anak-anak yang menjadi korban sangat menderita secara fisik, sosial psikologis, dan emosional. Mereka mudah tertular penyakit menular seksual (PMS) seperti HIV/AIDS. Seringkali mereka diperkenalkan dengan obat-obatan terlarang yang berfungsi untuk mengendalikan mereka, yang penggunaannya dalam waktu yang lebih lama akan sangat membahayakan hidup mereka dan semakin sulit disembuhkan. Saat ini semakin banyak anak berusia di bawah umur dicari untuk dimanfaatkan dalam bisnis seksual komersial tersebut dengan anggapan anak kecil pasti belum terjangkit PMS. Padahal, mereka lah yang paling mudah terinfeksi karena secara biologis, anak kecil lebih rentan terhadap PMS. Dari beberapa studi kasus dan kesaksian para korban, diketahui bahwa mereka menderita trauma yang amat mendalam sehingga seringkali sulit bisa kembali hidup normal," tandas mantan wakil Sekjen PBNU 1999-2004 ini.
Karena mafia bisnis kejahatan ESKA melihat besarnya potensi ekonomi dalam bisnis kotor dan tidak manusiawi ini, Praktik kejahatan kemanusiaan ini berkembang pesat, meski ada payung hukum negara. Bahkan, perdagangan anak untuk eksploitasi seks komersial ternyata tidak hanya merambah daerah Indramayu semata. Survei ILO (2001) menyebutkan gejala trafficking tersebar luas mencakup berbagai daerah yang dapat diidentifikasi sebagai daerah pengirim, daerah transit, atau daerah penerima. Sebagai daerah pengirim adalah Jawa Barat (Sukabumi, Karawang, termasuk Indramayu); Jawa Timur (Jember, Probolinggo), Kalimantan Barat (Singkawang), Bali, NTB, dan NTB, Sulawesi Utara, Lampung.
Daerah Transit meliputi Jakarta, Batam, Surabaya, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Lampung. Sedangkan daerah penerima di Indonesia adalah Jakarta, Bandung, Batam, Palu, Medan, Surabaya, Makasar, Menado, Timika, dan Merauke. Selain terjadi di dalam negeri, beberap kasus Trafficking juga m