DALAM kitab Al-hikam yang ditulisnya, Kiai Saleh Darat memaparkan, salah satu tanda kewalian seseorang secara lahiriah adalah banyaknya umat yang berziarah ke makamnya jika telah meninggal dunia. Adapun secara batiniah, seseorang itu mampu menjadi wasilah (perantara) doa umat kepada Allah SWT.
Kini, bertahun-tahun setelah kematiannya, dua tengara itu justru melekat pada diri Kiai Saleh Darat. Setiap 10 Syawal, ribuan orang mengunjungi makamnya yang terdapat di kompleks Pemakaman Umum Bergota Semarang. Hampir seluruhnya meyakini, ulama besar itu sebagai wasilah. Terlepas dari keyakinan itu, banyaknya umat yang hadir tak termungkiri menjadi penanda kebesaran namanya.
<>Kamis (2/11) haul ulama besar yang terlahir dengan nama Muhammad Shalih itu kembali digelar untuk ke-106 kali. Seperti tahun-tahun sebelumnya, umat berdatangan, tak hanya dari Semarang, melainkan juga kota-kota lain di Jawa Tengah, seperti Tegal, Solo, Pekalongan, Kendal, Kabupaten Semarang, Demak, Pati, dan Grobogan. Kebanyakan datang pagi-pagi, namun sebagian sudah menginap di tempat itu beberapa hari sebelumnya.
Dipimpin KH Muhammad Muin, kemarin umat yang hadir bersama-sama membaca tahlil. Ketua Pengajian Ahad Pagi 1939 itu juga menyampaikan riwayat Kiai Saleh Darat dalam melakukan syiar Islam di Jawa dan Nusantara.
Menurut KH Muhammad Muin, Kiai Saleh Darat lahir di Desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Jepara, sekitar tahun 1820. Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, dia menggunakan nama Syeikh Haji Muhammad Shalih bin Umar Al-Samarani.
Adapun kata ''Darat'' di belakang namanya adalah sebutan masyarakat untuk menunjukkan tempat dia tinggal, yakni di Kampung Darat, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara. Ayahnya, KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang melawan Belanda di wilayah pesisir utara.
Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Saleh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid Waturaja (belajar kitab fikih, seperti Fathul Qarib, Fathul Mu'in, Minhajul Qawim, dan Syarbul Khatib).
Belajar di Makkah
Dia juga belajar kepada KH Muhammad Saleh Asnawi Kudus (Tafsir Jalalain As-Suyuti), KH Ishaq Damaran (nahwu dan sharaf), KH Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (ilmu falaq), KH Ahmad Bafaqih Balawi (kajian jauharatut Tauhid karya Syaikh Ibrahim Al-Laqani dan Minhajul Abidin karya Al-Ghazali), serta KH Abdul Gani Bima (kitab Al-Masa'ilus Sittin karya Abul Abbas Ahmad Al-Ghani).
Dia juga diajak ayahnya memperdalam agama di Singapura, sebelum akhirnya menuju Makkah. Di Makkah, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syaikh Muhammad Al-Marqi, Syaikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syaikh Sayid Muhammad Zein Dahlan, Syaikh Zahid, Syaikh Umar Assyani, Syaikh Yusuf Al-Misri, dan Syaikh Jamal Mufti Hanafi. Beberapa santri seangkatannya antara lain KH Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi Al-Jawi), dan KH Cholil Bangkalan.
Seusai menuntaskan pendidikannya, dia mendapat kesempatan mengajar, terutama kepada para santri yang datang dari Jawa. Satu di antaranya adalah KH Hasyim Asy'ari yang kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Sepulang dari Makkah, Muhammad Saleh mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya, KH Murtadlo. Semenjak kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat.
Para santri berdatangan dari luar daerah. Sebagian di antaranya menjadi ulama terkemuka, antara lain KH Mahfudz (pendiri Pondok Pesantren Termas, Pacitan), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Idris (pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo), KH Sya'ban (ulama ahli falaq dari Semarang), Penghulu Tafsir Anom dari Keraton Surakarta, KH Dalhar (pendiri Ponpes Watucongol, Muntilan), dan Kiai Moenawir (Krapyak, Yogyakarta).
Dikutip dari Suara Merdeka, 3/11