Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nadlatul Ulama (PBNU) Rozy Munir menyatakan, sembilan tahun perjalanan reformasi telah menyimpang dari koridor yang benar, karena dominasi kepentingan politik partai. Akibatnya, hingga kini reformasi belum membawa dampak positif yang signifikan bagi kehidupan rakyat.
”Misalnya, di dalam kabinet hingga kini partai masih mendominasi kursi tersebut. Selain itu, juga masalah-masalah kebijakan yang cenderung memaksakan keinginan atas (penguasa) dibandingkan keinginan rakyat, seperti masalah perekonomian yang hingga kini belum memihak rakyat kecil,” ungkap Rozy di Jakarta, Rabu (23/5) kemarin.
<>Rozy mengatakan, dalam menyelesaikan masalah bangsa, parlemen (DPR) dengan pemerintah cenderung terlihat adanya kompromi politik, bukan pada penyelesaian masalah yang sebenarnya. Seharusnya, seluruh elemen partai politik yang ada melepaskan baju partai politik, sehingga agenda reformasi bisa berjalan lancar.
”Seluruh elemen partai politik melepaskan embel-embel kepartaian jika memang ingin pemerintahan yang ada saat ini melaksanakan proses reformasi sesuai yang dicita- citakan rakyat sembilan tahun silam,” jelas mantan Menteri BUMN itu.
Dominasi kekuasaan partai politik, lanjutnya, telah mengakibatkan munculnya masalah profesionalitas dalam melaksanakan tugas yang terkait dengan kepentingan publik. Meski demikian, PBNU sendiri tidak mau menyalahkan, apakah pemerintah salah dalam melaksanakan proses reformasi atau tidak. ”Ini bukan masalah siapa yang salah atau tidak salah. Tapi semua sudah mulai berfikir untuk kepentingan Pemilu 2009,” katanya.
Di sisi lain, Rozy berpendapat bahwa proses reformasi di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum berjalan seperti yang dicita-citakan. ”Saya melihat belum berjalan sesuai harapan,” kata Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu.
Dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono, Rozy menilai adanya pemandangan yang menunjukkan koordinasi yang kurang antar-departeman dan lembaga negara. Pada sisi lain, ia juga melihat kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Jika masalah seperti ini tidak diselesaikan, berbagai masalah bangsa tak akan dapat dipecahkan oleh pemerintah.
“Misalnya saja untuk masalah Otonomi Daerah (Otoda). Dari pusat bilang putih, sedangkan bawah bilang hitam. Di samping itu, saat ini juga terjadi multitafsir terhadap kebijakan pemerintah pusat oleh daerah. Jika itu tidak segera dibenahi, maka pemerintahan ini akan mengalami kesulitan sendiri dan permasalahan pun tidak akan terselesaikan,” tuturnya. (amh/rif)