Jakarta, NU Online
Film religius Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang diangkat dari novel dengan judul yang sama yang kini tengah diputar di bioskop seluruh Indonesia ternyata sempat melakukan casting di berbagai pesantren untuk memperoleh karakter Fahri, tokoh utamanya.
"Sejak pra-produksi mencari pemain untuk karakter utama sangat sulit. Untuk karakter Fahri dicari hingga ke pesantren-pesantren dengan melakukan casting. Tapi tidak ketemu pemain yang cocok, mereka kebanyakan punya dogma sendiri tentang film. Jadi akhirnya pencarian itu tidak berhasil," ujar sang Sutradara Hanung Bramantyo.
<>Skenario film AAC karya Habiburrahman El Shirazy juga diubah dengan tujuan agar film bisa disesuaikan dengan kondisi lokasi yang mengalami banyak perubahan.
Pemilihan tokoh lainnya juga mengalami kesulitan. Dalam novel itu, Aisha adalah gadis Mesir yang tinggal di Jerman, pandai, alim, fasih berbahasa Arab dan Jerman. Karena menemukan karakter ini tidak mudah, maka casting dilakukan hingga berkali-kali mulai dari aktris dari Mesir hingga perempuan Indo Jerman seperti Nadine Chandrawinata.
Karena tidak bisa melakukan shooting di Mesir, Ia juga harus mampu menghadirkan Mesir dengan lokasi di Jakarta dan Semarang dengan ketelitian pada detil properti dan lokasi agar bisa semirip mungkin.
"Bayangkan, untuk menghadirkan kesan ada di Kairo, kami mendatangkan sekitar 300 orang Arab, mendatangkan unta dari kebun binatang, dan pelat mobil yang harus diganti seperti yang ada di Mesir," ujar sutradara film "Catatan Akhir Sekolah" dan "Brownies" ini.
Pemilihan tokoh dalam film menjadi awal kritikan bagi Hanung. Noura yang di dalam novel AAC yang kini sudah terjual 450.000 eksemplar tersebut digambarkan sebagai gadis Mesir yang memiliki wajah bak pualam diperankan oleh Zaskia Addya Mecca yang sama sekali tidak mewakili karakter gadis Mesir.
Keindahan Mesir yang seharusnya mendominasi film hanya dapat terwakili oleh gambar "long shot" Piramida dan langit birunya, Sungai Nil dengan bayangan bukit batunya, padang pasir lengkap dengan ontanya.
Novel karya Kang Abit, panggilan akrab Habiburrahman El Shirazy, juga memberi celah bagi Hanung untuk menampilkan hal berbau modernitas yang menciptakan kesan bahwa Fahri adalah anak gaul yang taat pada Sang Pencipta dan juga Ayat-ayat dalam kitab suci-Nya.
Ini menjadi jalan buat sutradara menjadikan film itu mengena kepada khalayak muda. Hal tersebut terwakili dengan penampilan Fahri yang diperankan oleh Fedi Nuril saat ia hendak pergi untuk melakukan "talaqqi" (suatu pertemuan penting) bersama Syaikh Utsman di masjid Abu Bakar Ash Shiddiq.
Kemeja kotak-kotak, tas selempang berwarna hijau, dan kaca mata hitam, menjadi penanda bahwa Fahri adalah sosok yang modern.
Kesan bahwa film tersebut lebih mirip sinetron tertangkap saat persidangan terakhir, ketika ayah angkat Noura yakni Bahadur memperlihatkan mimik kaget ala tayangan televisi saat Maria dengan kursi rodanya hadir menjadi saksi kunci di persidangan.
Kamera menangkap adegan Bahadur yang tiba-tiba mencekek leher dua anak buahnya sambil memaki kegagalan mereka menghabisi Maria. Norak, tapi kocak.
Gebrakan baru
Terlepas dari berbagai kekurangan, hal yang perlu diacungi jempol adalah kemauan semua pihak yang terlibat dalam proses produksi film "Ayat-ayat Cinta" untuk membuat film drama percintaan yang kental dengan ajaran Islam.
Sebagian pihak boleh jadi akan memrotes masuknya iklan dalam film tersebut. Namun, membuat film religi tidak sama dengan film-film populer yang dengan mudah meraup untung. Iklan lah yang menjadi andalan pemasukan.
Film ini mengetengahkan bahwa ajaran agama, khususnya Islam, bisa disampaikan dengan manis melalui tontonan yang menarik pula.
Maka, banyak pergaulan anak muda di film ini yang sangat berbeda dengan film percintaan lain. Itu misalnya digambarkan ketika Fahri tidak menjabat tangan Alicia, wartawati asal Amerika Serikat.
Atau adegan saat Fahri mengucap kata "Astagfirullah" saat menyadari dirinya terhanyut memandang mata Maria di tepi Sungai Nil. Atau ketika dia memandang mata Aisha yang sangat indah di dalam Metro.
Bahkan saat Maria dalam kondisi kritis sekalipun Fahri tidak berani menyentuh tangan Maria, dan hanya mampu berbisik. Setelah Maria halal baginya, ia berani memegang tangan istri yang sebelumnya memeluk agama Kristen Koptik tersebut.
Ini memberikan nuansa berbeda dengan adegan pada banyak film atau sinetron percintaan yang diproduksi di dalam negeri. Jika merujuk pada banyak kritik terhadap kandungan film dan sinetron lokal, belakangan ini, maka film ini setidaknya berani membuat gebrakan yang berbeda.
Amin (40) yang ditemui NU Online seusai menonton film tersebut mengaku sangat terkesan dengan film ini. “Belum pernah saya melihat film Indonesia yang yang isinya penuh ajaran Islam,’ tuturnya. (mkf)