Sebaiknya kepemimpinan NU hasil muktamar NU ke-32 di Makassar lebih mengkonsentrasikan gerakannya untuk mengakomodasi dan memenuhi kebutuhan anggotanya di akar rumput dibanding mengurusi politik kekuasaan. Sebab, selama ini banyak gerakan tokoh dan pengurus NU lebih banyak diarahkan untuk kegiatan politik kekuasaan dibanding politik kerakyatan.
Demikian dinyatakan salah seorang pengamat NU yang juga Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Nur Syam di kantornya, Surabaya, Jum'at (19/3). "Saya beberapa kali bertemu dengan KH Solahuddin Wahid dan KH Masdar Farid Mas'udi. Keduanya ingin menarik NU ke akar rumput kembali kalau terpilih sebagai ketua umum PBNU pada muktamar Makassar nanti," kata Nur Syam.<>
Menurut Nursyam, semangat dan ghirah ini sejalan apa yang terjadi di NU menjelang muktamar NU ke-27 di Pondok Salafiyah Syafi'iyah Asembagus, Situbondo, Jatim tahun 1984 lalu. Yang mana dalam muktamar tersebut dihasilkan banyak keputusan strategis. Satu di antaranya NU memutuskan kembali ke khittah 1926 dan menarik diri dari PPP. NU juga menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan politik yang saat itu.
"Kelihatannya semangat muktamar Makassar ini sedikit banyak ada kemiripan dengan ghirah menjelang muktamar Situbondo tahun 1984 lalu," tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Nur Syam juga menyatakan, iklim intelektual yang berbentuk kebebasan berwacana isu-isu aktual keagamaan dan kemasyarakatan bakal lebih hidup di NU khususnya kalau Agil Siradj terpilih sebagai ketua umum NU. "Wacana intelektual Kiai Said Aqil sangat kuat," ujarnya. (min)