Surabaya, NU Online
Momentum bulan puasa Ramadhan seharusnya memiliki makna yang sangat penting bagi para elit politik dan birokrat, karena mereka dapat belajar merasa bahwa Tuhan Yang Maha Esa selalu mengawasi hamba-Nya pada setiap waktu dan tanpa batas.
"Ulama atau negara sekali pun tidak akan dapat melakukan intervensi dalam masalah puasa, karena orang dapat berpura-pura, tapi manusia tidak akan dapat menipu Tuhan," ujar Wakil Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur KH Miftachul Akhyar kepada NU Online di Surabaya, Minggu (24/9).
<>Menurut pengasuh Pesantren Miftachussunnah, Kedungtarukan, Surabaya itu, puasa merupakan tingkatan tertinggi setelah iman dan Islam, yakni ihsan. "Secara bahasa, ihsan adalah orang yang mampu menahan nafsu dan mampu memaafkan orang lain sebelum diminta," paparnya.
Namun, katanya, ihsan dalam realitas adalah orang yang selalu merasa "diawasi" Tuhan, sehingga dia selalu mengedepankan sikap jujur, santun, tulus kepada sesama, dan selalu memikirkan akibat atau dampak dari setiap tindakan yang diperbuat.
"Kalau elit politik dan birokrat kita mampu menjadi ihsan melalui Ramadhan kali ini, maka mereka tidak akan mengelabui rakyat dan tidak menerapkan aji mumpung untuk jabatan yang diembannya," ungkapnya.
Ulama yang setiap Ramadhan selalu memberi pengajian kitab kuning di Sekretariat PWNU Jatim itu menjelaskan, Ramadhan juga penting bagi masyarakat untuk meningkatkan keimanan lebih tinggi lagi dari sebatas formalitas.
"Masyarakat kita selama ini masih memahami puasa sebatas formalitas, sehingga mereka tetap membuka warung dengan memberi kelambu, televisi menayangkan hal yang agak baik pada Ramadhan saja, wanita tuna susila juga libur pada Ramadhan saja, dan banyak lagi," tegasnya.
Padahal, katanya, masyarakat yang mampu memahami makna Ramadhan akan betul-betul menghargai diri sendiri dan bukan sekedar menghormati Ramadhan itu sendiri. "Masyarakat selama ini hanya menghormati Ramadhan secara formalitas untuk satu bulan suci itu saja," tandasnya. (ant/sam)