Serikat Petani Indonesia (SPI) menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan gugatan terhadap Undang-Undang (UU) nomer 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, tidak cermat. Pasalnya, hanya Pasal 22 yang dianulir. Selebihnya, Majelis Hakim menganggap UU tersebut tetap konstitusional.
Demikian dikatakan Ketua Departemen Luar Negeri SPI, Mohammed Ikhwan, di Jakarta, Senin (31/3), dalam siaran pers yang diterima NU Online.<>
Ikhwan menyayangkan putusan MK yang menganulir Pasal 3 dalam UU tersebut yang berisi perlakuan sama yang tidak membedakan asal negara. Padahal, jelas dia, seharusnya arah pembangunan lebih memprioritaskan kepentingan nasional.
“UUD (Undang-undang Dasar) 1945 secara tegas menyatakan, cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat dan sistem perekonomian yang berbasis ekonomi kerakyatan,” pungkasnya.
Ia juga menyesalkan putusan MK yang menganulir Pasal 8. Pasal itu, ungkapnya, dikhawatirkan akan menimbulkan capital flight karena diperbolehkannya pemindahan aset kapan dan di mana pun.
“Padahal, fakta di lapangan, jelas-jelas menunjukkan bahwa repatriasi aset berkorelasi langsung dengan kebijakan pemutusan hubungan kerja secara masal,” ungkapnya.
“Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan, memberikan dissenting opinion (perbedaan pendapat) atas putusan MK tersebut, adalah salah satu bukti bahwa putusan MK tidak cermat,” terang Ikhwan lagi.
Selain itu, lanjutnya, meski MK membatalkan pasal 22, bukan berarti liberalisasi sumber-sumber agraria bakal berhenti.
Ia membenarkan bahwa MK menyatakan persoalan penguasaan atas tanah akan dikembalikan pada Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Namun, dalam praktiknya, UUPA 1960 tidak pernah dicabut tetapi tidak pula dijalankan.
Hal yang justru terjadi adalah undang-undang sektoral yang mengandung maksud privatisasi yang lebih menguntungkan modal internasional serta justru memperkecil akses rakyat dan alat efektif untuk mengkriminalkan perjuangan massa rakyat. Seperti, Undang-Undang Perkebunan, Kehutanan, Migas, Sumberdaya Air dan lain-lain termasuk RUU Pertanahan. (rif)