Warta

Sumpah Pemuda Bantu Tim Ekspedisi Garda Depan Nusantara

Kamis, 28 Oktober 2010 | 06:02 WIB

Bandung, NU Online
Pernahkah dibuat survei mengenai seberapa luas pengaruh Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928? Rasanya dalam dunia pendidikan kita hal itu belum ditemukan hasilnya. Atau lebih tepat, survei semacam itu belum pernah dilakukan orang. Apalagi survei yang mencari persepsi publik atas satu issu, baru populer belakangan, mengadopsi sistem politik di negara-negara maju. Selain berbiaya mahal, survei soal Sumpah Pemuda mungkin dinilai mengada-ada.

Terlepas dari soal survei, pengaruh Sumpah Pemuda jelas dirasakan bangsa ini. Memang belum dibuktikan secara kuantitatif, tapi jelas dirasakan adanya secara kualitatif. Bukti terbaru disajikan oleh Tim Ekspedisi Garda Depan Nusantara (GDN).
>
“Kami menemukan fakta, dua buah pulau yang berdekatan, ternyata bahasa ibu dan budayanya sudah jauh berbeda,” urai Donny Rachmansjah. Sekalipun begitu, perjalanan mereka ke 92 pulau terdepan lancar-lancar saja, tidak ada hambatan komunikasi.                      

Ketika ditanya, dengan bahasa apa anggota tim berkomunikasi saat bersua penduduk di sekitar 92 pulau terdepan? Mereka serempak menjawab, “Bahasa Indonesia!” Diakui Didi Sugandi, bahasa Indonesia memang telah menjadi milik penduduk di gugusan pulau-pulau Nusantara. “Mungkin itu satu-satunya penanda kita ini bersaudara, ketika kue pembangunan belum pernah mereka rasakan,” ujar Didi. Dalam ungkapan lain Irwanto Iskandar mengatakan, “Perbandingan pembangunan memang sangat njomplang. Kemauan mereka untuk tetap ber-Indonesia itu luar biasa, padahal mereka belum merasakan arti sebenarnya dari kemerdekaan.”

Tanpa bahasa Indonesia, tak terbayang sulitnya berkomunikasi dengan penduduk di pulau-pulau terdepan itu. Dari kenyataan inilah anggota tim merasakan dahsyatnya pengaruh Sumpah Pemuda. Ketika sejumlah negara berjuang mati-matian menciptakan bahasa persatuan nasional, bangsa Indonesia, bahkan sejak sebelum merdeka sudah memilikinya. Betapa jauhnya visi para pemuda Angkatan 1928 itu.

Sumpah Pemuda juga telah menyumbang lema berbunyi “tanah air”, kata yang tidak ditemukan padanannya dalam bahasa mana pun di dunia ini, bahkan dalam bahasa Inggris. Tanah air bukan motherland atau fatherland tetapi lebih dalam lagi maknanya. Kosa kata ini memang berakar dari khazanah pusaka lokal, seperti dari bahasa Sunda. Orang Sunda menyebutnya, “lemah cai”.

Untuk tetap menjaga semangat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu, secara simbolik Tim Ekspedisi menyertakan “Soekarno-Hatta” mengunjungi semua pulau. “Soekarno” berbaju merah dan “Hatta” berbaju putih. “Patung Soekarno-Hatta kami bawa dan kami foto di 92 pulau terdepan, sebagai tanda bahwa “kedua proklamator” itu telah datang berkunjung,” papar Aat Suratin.

Perjalanan GDN memang sarat dengan aura nasionalisme, patriotisme, dan tentu saja semangat petualangan. Mereka yang selama ini dikenal sebagai rimbawan, demi menjaga persatuan Nusantara, kini telah menjadi bahariwan pula. “Kami bahariwan yang nekad!” seru Galih Donikara. Menurut sekretaris Tim Ekspedisi ini, dalam perjalanan kadang mereka hanya mendapatkan kapal yang kurang memenuhi standard keamanan pelayaran, tapi mereka tetap nekad. Mereka belajar dengan cepat dari alam dan rajin menyimak kisah-kisah kecerdikan para pelaut Indonesia yang dituturkan para nelayan.
Hal-hal yang verbal dan kasat mata memang sering diperlukan untuk memperkuat semangat batin yang kerap meredup. Kalau melihat tingkah-polah para pembesar di Jakarta, siapa yang tak akan frustasi?

Korupsi, kekerasan, manipulasi, adalah kisah sehari-hari yang memuakkan. Maka menemukan kisah tentang semangat ke-Indonesiaan, dari pulau-pulau terdepan yang dibawa Tim GDN, sungguh ibarat bersua oase di gurun pasir.
Oleh karena itu, semangat Sumpah Pemuda 1928 dan Prokmalasi 1945 harus dijaga dengan berbagai cara. Tim GDN memilih cara unik, mengarak “Soekarno-Hatta” untuk turnee ke 92 pulau terdepan Indonesia. “Secara simbolik, mereka telah hadir di pagar terdepan halaman rumah kita, menjaga keutuhan Indonsia,” tegas Aat.

Walhasil, Ekspedisi GDN boleh disebut sebagai kerja besar yang telah melakukan survei “mengada-ada” itu. Seperti para pemuda pada 1928, ekspedisi GDN pun dilakukan lewat aspirasi, semangat, dan idealisme. Realitas di lapangan membuktikan, mereka dibantu oleh bahasa Indonesia yang merupakan butir ketiga dari Sumpah Pemuda, “Berbahasa Persatuan Satu, Bahasa Indonesia.” (iip)


Terkait