Jakarta, NU Online
Meski Undang-Undang tentang Zakat telah ada sejak tahun 1999, namun potensi salah satu rukun Islam ini belum tergarap secara optimal. Karena itu menurut Direktur Pemberdayaan Zakat Departemen Agama Prof Dr Nasrun Haroen, perlu dilakukan amandemen terhadap UU tersebut.
“UU Zakat perlu diamandemen, sudah ada restu Presiden untuk mengamandemen,” kata Nasrun kepada wartawan di Jakarta, Selasa, (14/11). Menurutnya, dalam UU Zakat yang ada sekarang, belum ada ketegasan tentang zakat sebagai pengurang pajak.
<>Dalam UU Nomor 38 tahun 1999 itu disebutkan bahwa, seseorang yang telah bayar zakat kepada BAZNAS atau LAZ dengan membawa bukti kwintasi ketika bayar pajak dapat mengurangi pajak penghasilan. “Namun bagaimana zakat bisa mengurangi pajak yang sudah dibayarkan, karena bukan dari harta kekayaan tapi laba pendapatan,” ujar Nasrun.
Karena itu lanjut pria yang juga Ketua MUI Sumbar ini, UU Zakat perlu diamandemen. “Dalam UU hasil amandemen juga disebutkan bahwa, diwajibkan membayar zakat melalui Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) atau LAZ (Lembaga Amil Zakat yang dikukuhkan Pemerintah, sehingga tidak ada lagi zakat perorangan,” jelasnya.
Menurutnya, potensi zakat akan jauh lebih baik jika dikelola secara lembaga atau zakat dikelola secara produktif. Dengan demikian tercapai tujuannya, yaitu agar mustahik (penerima) pada tahun depan menjadi muzakki (pembayar zakat), dan ini sesuai dengan program Pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.
“Selama ini pembagian zakat tidak produktif atau tidak terkontrol. Selain itu data kemiskinan juga kurang akurat,” ujarnya seraya menilai data kemiskinan BPS (Badan Pusat Statistik yang menyebutkan angka kemiskinan di tanah air mencapai 39,1 % kurang akurat.
“Kemiskinan dalam al Quran disebutkan ada orang miskin yang minta-minta dan yang tidak minta-minta. Selama ini yang terdata baru yang minta, yang tidak minta-minta karena tahu harga diri tidak terdata,” ungkap Nasrun.
Untuk itu ia menyarankan Badan Amil Zakat Nasional untuk membuat peta kemiskinan agar pendistribusian zakat bisa optimal dan tidak salah sasaran. Peta kemiskinan tersebut harus menggambarkan wilayah penerima zakat berikut peta permasalahan masyarakat yang sedang dihadapi di daerah tersebut.
Menurut Nasrun, sering kali ketika zakat sudah dikumpulkan oleh masyarakat ke badan amil zakat, kemudian timbul masalah dalam pendistribusiannya. Untuk itu, perlu dirancang peta kemiskinan dalam skala wilayah maupun nasional. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) bekerja sama dengan Badan Amil Zakat Daerah (Bazda) perlu memetakan wilayah penerima zakat atau mustahik berdasarkan prioritas.
Selain itu, permasalahan sebuah daerah juga harus tergambar secara jelas agar bentuk bantuan dari dana zakat bisa disesuaikan dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan. “Potensi zakat jika umat Islam di Indonesia yang 88 persen membayar zakat akan terkumpul dana Rp 19,3 Trilyun. Ini menurut penelitian UIN Jakarta,” kata Nasrun
Ia juga mengungkapkan kegiatan di Direktorat Pemberdayaan Zakat dalam waktu dekat. Pada 18 November mendatang di Yogyakarta diselenggarakan seminar tentang Reformasi Pengelolaan Pajak dan Zakat. Tanggal 22-24 di UIN Malang akan diselenggarakan Seminar dan Expo Zakat Asia Tenggara dengan pembicara dari dalam dan luar negeri. (dpg/nam)