Wawancara

Salahuddin Wahid: Kita Sepakat Syuriyah adalah Pimpinan NU

Kam, 4 Maret 2010 | 10:25 WIB

KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) adalah salah seorang tokoh NU yang telah lama dikenal sebagai sosok yang idealis dan memiliki komitmen tinggi untuk memajukan NU ke depan. Tokoh yang kini dipercaya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang ini banyak di sebut-sebut sebagai salah satu calon kuat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar ke-32 NU di Makassar, akhir Bulan ini.

Kepada NU Online yang berkunjung di kediamannya di bilangan Kebayoran Baru Jakarta Selatan, cucu pendiri NU KH Hasyim Asy'ari ini memaparkan visi dan misinya untuk memajukan NU. Berikut adalah cuplikannya:


Bagaimana pandangan Bapak mengenai Nahdlatul Ulama (NU)?
gt;

Pertama-tama, saya melihat Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ajaran yang bisa bertahan dan compartible dengan perkembangan zaman. Ini berarti, sebagai ajaran NU tidak ada yang salah. Ajaran bisa dikembangkan menjadi banyak hal seperti fikih, akidah, tasawuf. Dalam hal ini masing-masing aspek ajaran mengalami banyak tantangan.

Selain itu, adajuga ajaran NU dalam bidang politik yang telah menjadi ikutan banyak pihak. Misalnya ketika NU menerima Pancasila. Ini artinya tidak lagi suara NU untuk memperjuangkan Negara Islam. Dan ini sudah berjalan dengan baik.

Perkara perilaku politiknya tidak baik, ini lain soal. Perkara perilaku partai-partainya tidak baik, ini juga lain soal karena tidak bersumber dari ajarannya.

Kedua, NU sebagai warga negara. Ini bisa kita lihat dari pengertian politik dan dari pengertian sosial ekonomi. Di mana dalam pengertian politik, warga NU tidak lagi dapat dikotakkan secara sederhana lagi. Artinya, ”mengandangkan” aspirasi politik warga NU hanya dalam satu partai rasanya sudah bertentangan dengan fitrah manusia saja.

Ketiga, NU dari aspek pesantren dan ulama. Peran pesantren selama berabad-abad adalah lembaga yang mencerdaskan anak bangsa di Nusantara ini. Pendidikan Belanda baru dimulai 1901 M. Artinya baru seratus tahun lalu. Lalu sebelumnya siapakah yang mencerdaskan warga Nusantara untuk siap menjadi bangsa ini? Kan tidak tiba-tiba? Tentu itu adalah atas jasa para alim ulama dan pesantren. Nah sekarang peran Pesantren begitu besar tetapi pesantren tidak diperhatikan oleh Negara. Ini yang perlu kita sikapi bersama, kita carikan solusi.

Keempat, NU sebagai organisasi yang perlu ditingkatkan kinerjanya untuk bisa memanfaatkan potensi yang ada, agar bisa berperan sehebat ketika sekian puluh tahun yang lalu. Sejak lama organisasi NU sudah memberikan sumbangsih yang sangat besar kepada bangsa Indonesia. Inilah fitrah organisasi NU. Menurut saya, organisasi NU saat ini sudah mulai melenceng dari jalur fitrahnya. Dan organisasi NU harus dikembalikan kepada fitrahnya untuk menghadapi tantangan-tantangan ke depan bangsa dan umat agar bisa memberikan sumbangsih yang sebesar sumbangsih pada masa-masa sekian puluh tahun yang lalu.

Aspek-aspek apa saja yang perlu dipertahankan dari NU

Tentu banyak, antara lain ajaran itu tadi. Termasuk hal-hal yang sudah mulai menipis, seperti aspek solidaritas, pejuangan, ruh, jihad dan keikhlasan. Misalnya, dulunya orang-orang NU sangat kuat solidaritasnya, maka kini kita bisa lihat banyak orang-orang NU lebih mengedepankan aspek ”nafsi-nafsi”.

Bahkan perusahaan pun memiliki ruh, dan dicari, kalau tidak memeiliki ruh maka tidak akan maju. Lalu sekarang kita melihat banyak ruh, jihad dan keikhlasan sudah mulai langka dari orang-orang NU. Ini yang menurut saya perlu dikembalikan. Karena inilah yang menurut saya yang paling menentukan.

Organisasi NU, menurut saya kalau mau disederhanakan hanya ada dua, pertama kapabilitas, kesadaran organisasi, budaya organisasi dan yang kedua adalah niat berorganisasi. Selama kita setia pada niat yang baik, tentu NU akan semakin tumbuh menjadi organisasi yang baik.

Menurut Bapak, ajaran NU di bidang apakah yang paling penting untuk lebih dikembangkan?

Menurut saya, yang sampai sekarang belum maksimal dikembangkan adalah ajaran NU mengenai ekonomi. Sehingga sangat pelu bagi kita untuk mengembangkan ajaran NU dalam bidang ekonomi. Bukankah hidup kita sangat dipengaruhi oleh ekonomi?

Dari sisi sosial ekonomi, warga NU ini sebagian besar adalah orang-orang yang tertinggal. Maka pertanyaannya adalah sejauh mana NU sebagai lembaga bisa memberikan manfaat duniawi kepada warganya.

Jadi kalau pada zaman Gus Dur kita memperjuangakan demokrasi politik, maka sekarang kita harus memperjuangkan demokrasi ekonomi. Bisa apa tidak? Kalau kita mau saya yakin bisa, meski tentunya tidak mudah dan perlu waktu panjang.

Aspek apa saja di NU yang perlu diperbaiki?

Organisasi menurut saya. Kita harus menemukan format peran kita ke depan, yang saya rumuskan dalam kalimat pendek: ”Menjadi kekuatan utama masyarakat sipil yang memperjuangkan demokrasi ekonomi bersama-sama dengan pemerintah.” Jadi kita bukan bagian dari kekuasaan, dan juga bukan oposisi.

Negara ini kalau kita pilah ada tiga bidang pokok, yakni dunia politik, dunia usaha dan kekuatan sipil di luar keduanya. Di mana sekarang ini kolusi politik dengan perusahaan raksasa sangat besar, sehingga rakyat sudah tentu menjadi korban. Nah dalam kondisi seperti ini, maka yang bisa melindungi rakyat adalah kekuatan sipil tadi. Dan kita harus duduk pada posisi itu.

Bukankah sekarang kekuatan masyarakat sipil seperti LSM sudah cukup kuat?

Iya benar, namun kekuatan LSM-LSM ini hanya bisa efektif jika NU berada di sana. Karena LSM banyak terkotak-kotak dan memang tidak cukup kuat. Banyak contoh sudah membuktikan bahwa NU bersama ormas-ormas lain seperti Muhammadiyah, LSM dan para cendikiawan, bisa menjadi kekuatan sipil yang sangat kuat. Nah tentunya untuk itu paling awal NU harus memperbaiki organisasinya. Tanpa organisasi yang kuat maka takkan mungkin NU bisa berperan besar di sana.

Menurut Bapak, bagaimana semestinya NU bersikap terhadap ideologi transnasional?


Menurut saya ideologi tidak hanya menegenai pemikiran keagamaan. Bahkan yang paling berat justru ideologi ekonomi. Itulah yang saya maksudkan dari awal, bahwa ideologi ekonomi juga harus kita perkuat. Karena kalau tidak, maka kita hanya akan meributkan liberalisme dan fundamentalisme pemikiran keagamaan saja. Sementara itu kita tidak pernah meributkan liberalism ekonomi. Padahal ini juga sangat membahayakan kehidupan umat.

Menurut saya kita harus menyuarakan ideology ekonomi. Karena itulah kekuatan utama masyarakat sipil yang menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung.

Sedangkan kalau ideologi keagamaan, kita tetap akan berpegang pada prinsip-prinsip i’tidal (berpegang pada keadilan dan kebenaran), tawassuth (moderat), tawazun (seimbang) dan tawazun (toleran) yang berdasarkan akidah ahlussunnah wal jamaah (Aswaja). Selain itu maka harus kita tolak.

Hanya saja bagaimana cara menolaknya, ini adalah pertanyaan besar. Kalau kita lihat masjid-masjid banyak yang diserbu orang berpaham lain. Maka di sini NU perlu secara organisasi mengatur dai-dainya, jangan sampai rebutan juga. Kita juga harus mencari bibit yang harus kita tampilkan, kita didik dan kita fasilitasi, baik melalui media televisi, radio, Koran ataupun panggung-pangung dakwah lainnya. Sehingga mereka bisa menampilkan pemikiran-pemikiran dan dakwah yang baik, yang sejalan dengan tradisi kita.

Ada banyak pernyataan bahwa banyak masjid-masjid NU direbut orang lain adalah karena orang-orang NU mulai meninggalkan masjidnya sendiri. Menurut Bapak bagaimana?


Di beberapa tempat tertentu mungkin benar, di Jakarta saya kira memang begitu. Jadi masjid-masjid kita di Jakarta hanya diurusi oleh orang-orang yang seadanya saja. Diurusi oleh orang-orang yang, jika menerima penyerbuan dari pihak lain yang memiliki rencana menyeluruh, sudah pasti kalah. Tetapi kalau orang-orang yang memiliki kualitas bagus, mau mengurusi masjid, kita tidak akan kalah.

Selain masjid kita juga harus memperhatikan media dakwah lainnya, yakni adalah penerbitan. Kita kalah betul dalam hal penerbitan apalagi media elektronik seperti televisi. Ini harus menjadi telaah kita. Kenapa kita selalu menjadi pasar? Pasar ideologi, pasar bahan bacaan, pasar tayangan televisi tanpa kita berdaya menghadapinya.

Celakanya, kita berpikir bahwa kita tidak mampu. Maka ya sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, lah wong kita sudah menganggap diri kita tidak mampu. Padahal mestinya tidak begitu.

Mestinya kita mampu. Karena mampu atau tidak mampu itu harus kita lihat setelah kita berusaha dalam jangka waktu tertentu, entah lima tahun atau sepuluh tahun misalnya. Jadi seperti Mizan, majalah-majalah seperti Alkisah, Hidayatullah, Sabili dan lain-lain, saya pikir mereka hadir pada saat yang tepat. Sabili itu pernah mencapai titik 100 ribu eksemplar lebih perterbitan, sekarang paling-paling tinggal 30 ribu saja. Tetapi mereka sudah pernah berjaya, kita harus mencoba seperti mereka. Saya pikir seperti Majalah MataAir itu bagus sekali dari sisi isi, tetapi saya tidak tahu apakah dari sisi pemasaran sudah cukup menjawab tuntutan pasar atau tidak.

Saya ingat waktu dulu, Tempo pernah punya majalah Zaman, Bu Nuriyah (isteri Gus Dur –red) dulu pernah bekerja di sana tahun 1972. Majalah Zaman Itu dirubah-dirubah begitu untuk menyesuaikan pasar, lalu akhirnya mati karena tidak bisa lagi bertahan. Suara pembaruan juga pernah punya Majalah Mutiara kemudian menjadi tabloid, naik turun dan akhirnya mati juga. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa dunia penerbitan memang sukar tetapi pada intinya kita jangan mudah menyerah.

Tentang Dakwah dalam arti keulamaan di masyarakat secara umum?

Ya kalau kita mau, mestinya kita bikin kajian yang serius, kita bikin survey yang akurat. Dari sana kita bisa tahu, kekurangan dakwah kita itu apa. Agar kita dapat menjawab kekurangan dakwah kita dengan cara yang tepat

Jangan sekali-kali kita langsung menyimpulkan dan menjawab secara langsung dengan mengira-ngira seolah-olah kita tahu persis suatu masalah tanpa melakukan penelusuran terlebih dahulu dengan semestinya. Tetapi cari dan jawablah pada sumbernya yang primer.

Pandangan Bapak mengenai implementasi Khittah?

Khittah itu kan luas sekali. Tidak hanya bersinggungan dengan politik praktis. Khittah adalah juga pedoman berpolitik bagi kader-kader NU. Nah sekarang pertanyannya apakah pedoman ini dipakai? Kalau sekarang kita lihat perilaku berpolitik kader-kader NU, kita lihat mereka tidak lebih baik, kalau tidak mau mengatakan tidak lebih buruk, dibanding dengan politisi yang lain, gak ada bedanya kan? Nah makanya implementasi khittah yang mana yang dimaksudkan?

Jadi kalau saya tegaskan, jika maksudnya adalah NU tidak memiliki hubungan langsung dengan partai politik manapun. Nah ini harus kita tegaskan, Muktamar harus menegaskan, jangan sampai ada lebih dari satu penafsiran. Kalau tidak ditegaskan, ya sudah kita akan kembali kepada kondisi yang kemarin.

Saya pribadi sudah sering mengatakan: warga NU tidak cukup atau terlalu besar untuk ditampung oleh hanya satu partai. Kalau kita belajar dari sejarah, tahun 1955 NU punya suara 18.3 persen, sebagian warga NU dan tokoh NU masih ada yang nyangkut di Masyumi karena kita mula-mula berada di Masyumi, tersisa Cuma 183 persen itu. Tahun 1971 naik nol koma sekian persen menjadi (18.8). Ketika pemilu 1971 sudah berada dalam tekanan Golkar, dan selanjutnya adalah pemilu sandiwara. Hingga pada 1999 PKB 12 persen dan PPP 10 persen. Kalau kita anggap 2/3 suara PPP adalah warga NU maka ada 7 persen warga NU di PPP. Ini berarti suara NU di PKB dan PPP ada sekitar 20 persen. Di Golkar saya yakin ada setidaknya 5 persen suara warga NU. Jadi setidaknya suara warga NU adalah sebesar 25 persen akumulasi tersebut.

Nah pada pemilu kemarin, kalau kita hanya menganggap suara NU ada di PPP, PKB dan PKNU maka hanya ada sekitar 10 persen saja. Padahal saya yakin di Demokrat ada setidaknya 10 persennya adalah warga NU dan setidaknya 25 persen dari perolehan Golkar. Maka saya yakin sebenarnya suara NU tidak pernah kurang dari 25 persen setiap pemilunya. Dan ini tersebar di berbagai partai politik. Suara sebesar ini tidak mungkin kita tampung dalam satu partai. Artinya kalau kita tetap ngotot mendukung hanya satu partai, maka pasti sia-sia.

Bagaimana dengan tokoh-tokoh NU yang ingin menjadi calon dalam pilkada maupun pilpres?

Apakah kita larang? Tentu kita tidak berhak melarang siapapun, termasuk tokoh NU untuk maju dalam pilkada atau Pilpres. Namun jika calon ini adalah pengurus NU, baik ketua, rois atau pengurus harian lainnya, maka dipersyaratkan meletakkan jabatan di NU.

Selain itu, NU sebagai organisasi jangan terlibat secara langsung dalam kampanye, baik untuk partai atau pilkada maupun pilpres. Dengan bagitu maka kita akan dapat berdiri di atas semuanya. Sehingga kita dapat meninggalkan politik praktis dan hanya berpolitik kebangsaan di atas kepentingan kemaslahatan umat secara lebih luas. Ini dapat kita lakukan jika kita berdiri di atas semua partai.

Seringkali batasnya sangat tipis, sehingga seseorang tetap dianggap sebagai representasi NU meski sudah mundur dari kepengurusan NU?


Lah ya sudah, itu kan sudah sangsi terberat yang dapat diterapkan. Kan tidak mungkin lagi kita menghalang-halangi seseorang untuk maju, tidak fair, karena memasung hak asasi seseorang. Yang terpenting NU sebagai organisasi tidak terlibat dalam kampanye.

Cara agar calon pilkada/pilpres mundur dari jabatan kepengurusan NU secara elegan?

Saya adalah satu-satunya kader NU yang teruji membuktikan hal ini. Saya pernah menjadi ketua partai PKU, lalu saya mundur dari PKU sebelum menjadi pengurus NU. Kemudian ketika saya jadi cawapres, saya mundur dari ketua PBNU. Jadi satu-satunya di NU hanya saya yang membuktikan bahwa dirinya mundur, tidak ada yang lain. Silahkan lihat yang lain hanya non-aktif, bahkan ada yang diberhentikan.

Aturannya juga mestinya jelas, harus mundur atau cukup non aktif?

Kemudian Muktamar Boyolali mengharuskan ada kontrak politik. Nah kalau tidak ada kontrak politik bagaimana? Ini kan pertanyaan hukum. Jadi kalau PWNU atau PCNU tidak membuat kontrak politik maka seseorang tidak memiliki janji akan mundur. Mestinya jangan bikin kontrak politik, tetapi dimasukkan di Anggaran Rumah Tangga (ART).

Sekarang ini ART-nya berbunyi, ”Pengurus harian NU tidak boleh merangkap pengurus harian partai politik.” Nah kan tinggal nambahin saja misalnya, ”Bila ada pengurus NU yang mencalonkan diri sebagai ketua partai atau pejabat politik maka kepengurusannya di NU gugur.” Jangan bilang harus mundur, karena kalau tidak mundur bagaimana? Buatlah kata-kata yang aktif dan menempatkan pengurus, dalam hal ini, sebagai objek pasif. Hanya saja jangan membuat tata bahasa yang keterlaluan, misalnya ”Pengurus NU dilarang mencalonkan diri dalam pilkada atau Pilpres.” Kalau begini kan namanya memasung hak?

Bagaimana NU semestinya menyikapi konflik PKB?

Tentunya kita mengupayakan bisa ishlah, tidak hanya PKB dua kubu. Kalau perlu malah dengan PKNU sekalian. Tetapi pertanyaannya adalah, apa perlu diambil tindakan seperti itu? Kecuali jika PKB-nya sendiri yang meminta. Tetapi saya kok tidak yakin PKB meminta NU untuk menengahi konflik mereka. Wong mereka saja malah ndak mau muktamar kok. Mereka inginnya muktamar 2013 kok.

Bagaimana hubungan NU dengan Pemerintah?

Sederhananya, NU bukan kepanjangan tangan pemerintah, NU bukan bagian dari pemerintah, NU bukan alatnya pemerintah. Tapi NU juga bukan lawannya pemerintah, NU bukan oposisi, NU bukan kekuatan yang menentang pemerintah. NU adalah mitra pemerintah dalam membangun masyarakat dan bangsa. Bersama-sama dengan pemerintah kita membangun demokrasi. Demokrasi politik kita juga ikut bersuara, tetapi saat ini fokusnya harusnya NU lebih menyuarakan demokrasi ekonomi. Ini yang menurut saya harus lebih kita perhatikan.

Tahun 1970-an NU menjadi bagian dari kekuatan rakyat sebagai oposisi yang sangat kuat untuk mewujudkan demokrasi politik. Bahkan hingga turut menata perundang-undangan dengan bargaining yang sangat kuat?

Pada saat-saat itu kondisinya sangat berbeda dengan sekarang. Pada waktu itu kan kita ditekan, dimusuhi dan bahkan digebuki oleh pemerintah. Ada orang lagi kampanye, diturunkan dari mimbar oleh aparat. Kenapa bisa begitu? Karena pada saat itu NU masih memperjuangkan Negara Islam, masih memperjuangkan berlakunya Piagam Jakarta. Dari sisi pemerintah, itu benar, cuma caranya yang tidak benar. Pemerintah kan tidak setuju dengan Negara berdasarkan Islam, sedangkan NU masih mau ke sana. Atau paling tidak pasal 29 itu diisi dengan tujuh kata Piagam Jakarta. Kan itu sebabnya.

Nah sekarang kan tidak ada itu. Pada saat itu NU adalah bagian dari partai, dan sekarang bukan lagi. Jadi tidak ada alasan lagi untuk berlawanan dengan pemerintah. Bahwa kita menganggap banyak kegiatan pemerintah yang tidak sesuai, tidak berbihak kepada rakyat, ya tentu kita akan kritisi, kita berpendapat. Tetapi kekritisan itu kan tidak harus dengan menggelar konferensi pers. Cukup kita lakukan dengan mendatangi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kita berikan kritik-kritik kita, dan jangan sampai jadi kampanye terbuka.

Kalau NU jadi kekuatan inti masyarakat sipil kan harus siap mengoreksi kebijakan pemerintah?

Oh tentu saja, betul itu. Tetapi menurut saya kita harus lebih fokus ke ekonomi. Kalau ke politik kan sudah banyak partai-partai politik yang mengurusi dan akan mengkritisi. Sementara masalah ekonomi terabaikan. Kita lihat saja, mana ada partai politik yang peduli dengan perekonomian rakyat? Tidak ada satupun. Paling-paling mereka hanya akan memperjuangkan perekonomian yang pro pengusaha, tidak pro rakyat miskin.

Bagaimana bentuk kerjasama dengan pemerintah?


Banyak hal yang dapat kita lakukan. Dan untuk itu tentunya perlu ada satu suasana yang baik dan harmonis antara pemerintah dengan NU. Saya ambil contoh, sekarang kita cukup baik, yang kurang baik sekarang adalah Muhammadiyah, dan ini dirasakan orang. Dan saya pikir tidak perlu setiap kebijakan pemerintah di depan publik.

Dan perlu dicatat adalah: mengkritik kebijakan pemerintah adalah porsi Syuriyah, bukan Tanfidziyah. Jadi syuriyah bersama tanfidziyah mestinya membahas ini. Tetapi yang menyampaikan kepada pemerintah adalah syuriyah. Tanfidziyah sebaiknya tidak melakukan kritik-kritik semacam itu, membatasi diri pada urusan internal. Inilah yang menurut saya, bentuk mengembalikan kepemimpinan kepada syuriyah. Jadi yang menjadi komandan kalau bicara adalah syuriyah, siapa pun syuriyahnya. Apakah rais Am, wakil atau pun katib, terserah syuriyah siapa yang diberi tugas itu. Tetapi yang jelas bukan ketua umum tanfidziyah.

Nah yang repot itu kan kalo ketua umum diwawancarai. Mestinya didahului dengan kata-kata, ”ini adalah pendapat saya pribadi bukan atas nama organisasi NU.” Ini mestinya menjadi fatsun atau etika yang harus dilakukan oleh semua orang.

Fokus garapan NU ke depan?


Yang jelas kita meninggalkan politik praktis. Tentunya banyak garapan karena kita adalah organisasi yang memiliki sejarah panjang, lengkap dengan Banom dan lembaga serta lajnah yang berkaitan dengan kegiatan yang beragam. Tentunya masing-masing Banom dan lajnah punya fokus garapan yang berbeda. Tetapi sebagai organisasi, menurut saya NU harus menomorsatukan pendidikan. Sejauh mana PBNU bisa membantu lembaga-lembaga pendidikan NU untuk meningkatkan mutunya. Baik milik keluarga, pribadi maupun miliki lembaga resmi NU.

Fokusnya pada pendidikan dasar dan menengah pada lima tahun ke depan. Bukan berarti kita meninggalkan pesantren dan universitas. Namun mestinya dalam tempo sepuluh tahun, kalau tidak bisa dalam tempo lima tahun, ya sepuluh tahun, NU harus bisa membuat beberapa universitas yang bagus di kota-kota besar yang strategis, seperti Jakarta dan Medan misalnya. Baik bernama NU ataupun bukan, tetapi harus jelas bahwa sebagian besar kepemilikannya adalah milik NU.

Nah kalau pendidikan dasar dan menengah, tentu kita harus punya data yang lengkap, baik yang dimiliki NU maupun yang dimiliki warga NU. Setelah itu sejauh mana kita bisa berperan membantu mereka meningkatkan mutunya. Kita harus menuntut pemerintah. kita itu hanya menagih pemerintah menunaikan janjinya.

Pemerintah berutang kepada rakyatnya. UUD pasal 28 mengatakan bahwa pemerintah mempunyai tugas untuk terselenggaranya pendidikan dasar yang bermutu. Tidak disebutkan punya pemerintah atau punya rakyat, dan memang tidak perlu disebutkan. Nah sekarang kita tagih pemerintah. Kita sudah bikin sekolah, kan sudah membantu pemerintah? Kenapa pemerintah tidak mau membantu kita? Kenapa tidak mau meningkatkan mutu sekolah ini. Kenapa tidak mau meningkatkan kesejahteraan gurunya?

Kalau yang ngomong itu pribadi seperti saya, maka hanya akan jadi angin lalu. Tetapi kalau yang bicara adalah NU maka akan lain hasilnya. Kalau kita sudah ngomong seperti ini tetapi tidak didengarkan maka kita boleh kritik terbuka. Kalau sudah kita beri saran tetapi tidak mau, maka kita boleh kritik pemerintah.

Bagaimana dengan konsep kemandirian warga?

Kita mestinya juga mulai melakukan pendidikan wira usaha. Mungkin dalam waktu lima tahun kita bisa mencetak lima ribu wira usahawan, dari lima ribu kalau jadi limaratus saja kan sudah berkah itu, sudah sumbangsih yang besar. Saya pikir tidak mustahil lima ribu, sepuluh ribu juga bisa. Kita bisa bekerja sama dengan lembaga manapun, termasuk luar negeri. Selanjutnya kita juga bisa mendorong pesantren untuk mau terjun ke dunia usaha. Jadi mendayagunakan aset yang mereka punya.

Kita tentu mendengar KH Fuad Afandi di Ciwidey, Bandung. Itu kan bisa kita tularkan, nggak semua orang tahu kan? Sidogiri yang berhasil dengan BMT-nyajuga harus kita tularkan juga.

Kembali ke pendidikan, saya kebetulan diminta menjadi salah satu pembina di yayasan pendidikan Universitas Nasional PASIM Bandung. Mereka punya program pembinaan umat berkelanjutan. Setiap tahun mereka mendidik 20-30 anak dari keluarga yang secara ekonomi kekurangan, tetapi cerdas. Mereka dididik dua tahun di bidang IT, tidak sampai sarjana, kemudian setelah bekerja, 20 persen dari penghasilannya dikembalikan kepada PASIM untuk membiayai anak-anak angkatan berikutnya. Ini kelihatannya sederhana tetapi tidak sederhana, ini sesuatu yang hebat. Ini kan berarti merubah dua anak dari yang tadinya menerima menjadi memberi dalam dua tahun.

Kalau setiap kota ada seperti ini, kalikan lima ratus kota, kan itu ada 10 ribu murid, kan dahsyat ini. Dan ini menurut saya bisa dikembangkan lebih banyak lagi, dan bukan hanya dalam bidang IT.

Contoh lain ada kawan punya program yang melibatkan peternak inti-plasma, dikasih ayam kemudian ditampung. Mula-mula hanya beberapa puluh saja, sekarang sudah ratusan. Dan banyak sekali contoh-contoh lainnya. Artinya banyak sekali contoh-contoh baik di masyarakat yang bisa dilakukan di banyak tempat. Banyak usaha yang bisa kita kerjasamakan untuk memberdayakan warga NU.

Dan sekali lagi ini kembali tentang organisasi. Kalau organisasi kita berorientasi ke arah hal-hal konkrit maka kita membutuhkan pemimpin yang berbeda dengan yang selama ini. Kita butuh pemimpin bertipe do-er, action, bukan bicara bukan wacana. Hal-hal begini memang memerlukan kerja keras, konsentrasi dan pengorbanan juga.

Mengenai perjuangan konsep ekonomi kerakyatan dalam koridor bernegara?

Intinya menurut saya ada tiga hal. Pertama kita mengkritisi kebijakan yang kurang memberi kesempatan kepada warga di bawah untuk mendapatkan akses dana, termasuk juga undang-undang. Kedua membantu mereka melalui pelatihan-pelatihan atau kegiatan-kegiatan yang parsial, tetapi kalau kita lakukan di banyak tempat akan memberikan hasil yang baik. Dan yang ketiga kalau mungkin tentu kita membuat bada usaha. Tetapi ini tentu berjangka panjang, setidaknya sepuluh tahun tadi.

Kalau perlu kita bikin badan usaha, kita minta dari pemerintah. Kita bisa berpartner, toh uangnya tidak kita makan pribadi kok, kita gunakan untuk rakyat kok. Anda tentu ingat bagaimana mendirikan Republika dan Bank Muamalat, itu kan uang rakyat, Pak harto yang menyuruh.

Nah di sini kan kuncinya adalah kepercayaan (trust), percaya nggak rakyat kepada pemimpinnya. Kalau rakyatnya tidak percaya kepada pemimpinnyaa maka tidak akan ada gunanya. Kalau dianggap pemimpinnya itu cuma memperkaya dirinya atau memperalat NU untuk kepentingan pribadinya, maka tentu tidak akan ada yang percaya. Kalau pemimpinnya mampu membuktikan bahwa dia tidak memperkaya diri melalui jabatannya, maka semua akan bisa dilakukan.

Jadi kuncinya adalah organisasi yang kuat, dibutuhkan orang yang sadar organisasi. Bahkan saya bermimpi, sepuluh tahun lagi kita mestinya dapat mendirikan bank syariah. Saya yakin mestinya kita bisa, asalkan sudah tumbuh rasa saling percaya.

Terkait dengan liberalisasi Ekonomi yang sangat kuat, apa yang harus dilakukan oleh NU?


Tentunya kita tidak bisa menjawab ini dengan tempo yang sangat singkat. Saya ingin mendapatkan masukan dari berbagai pihak. Kita tanya kepada anak-anak NU yang tersebar di berbagai tempat. Banyak yang sudah menjadi ahli ekonomi. Kita juga harus banyak belajar dari negeri-negeri tetangga.

Secara gampang coba saja lihat Malaysia misalnya, kok bisa lebih makmur dari kita? Kok Malaysia rakyatnya bisa lebih sejahtera dari kita? Bahkan Bukan hanya itu, kok Malaysia malah memberi makam tiga juta rakyat Indonesia, padahal alamnya ya sama. Ini tentu ada yang salah, nah apa yang salah ini harus kita perbaiki. Pasti ini karena salah urus. Nah salah urus seperti apa? Harus kita kaji. Tetapi memang tidak mudah dan perlu waktu. Jadi tidak mungkin dalam setahun kita menjawab bagaimana system ekonomi kita, paling tidak harus dua tahun. Dan ini kita lakukan dengan kajian dan dialog yang terus menerus. Antara satu sampai tiga tahun, kita bisa siap bersaing.

Bagaimana mestinya NU memperjuangkan perbaikan nasib pesantren?

Pesantren-pesantren besar yang masih menyelenggarakan kegiataan salaf itu kan belum diakui pemerintah, ini yang saya pikir menjadi pekerjaan rumah bagi NU. Nah ini juga harus kita dorong agar maju. Di sini kita harus kembali ke organisasi, dalam hal ini RMI.

Kalau kita bicara data, maka terjadi lonjakan yang tajam sejak tahun 2006. Dan kita perlu pertanyakan ini, apakah ini riil atau bukan, karena jika terjadi lonjakan yang tajam dalam waktu singkat, maka mutunya kan perlu dipertanyakan? Nah ke depan kalau kita ingin membangun bangsa maka kita harus membangun pesantren. Di sini kita perlu tahu sejauh mana perhatian pemerintah.

Kiai Tolchah pernah melakukan survey bahwa pesantren mengalami penurunan jumlah santri, itu bagaimana?


Persis, ada pesantren yang hanya memiliki santri 20-30 an saja. Karena jumlah pesantren itu banyak, maka walaupun jumlah santri di masing-masing pesantren berkurang, tetap saja jumlah santri itu banyak. Menurut saya itu tidak menjadi masalah, kan kita juga tidak bisa melarang, yang penting adalah kita bisa membantu mereka, memberikan pendidikan yang baik.

Layanan kesehatan NU?


Ini juga tidak mudah menjawabnya. Di NU ini yang ada rumah sakit besar itu di mana saja? Ini yang harus kita pelajari. Ini adalah juga bagian dari organisasi. Kita perlu meneliti, kenapa cabang-cabang tertentu bisa berhasil, dan kenapa cabang-cabang lain tidak berhasil? Ini yang harus kita pelajari bersama, yang lebih tertinggal harus mau belajar kepada yang lebih maju. Termasuk kenapa Banom yang satu berhasil dan yang lainnya tidak? Jangan sampai ada tumpang-tindih. Tentang layanan kesehatan, kita harus akui bahwa Muhammadiyah lebih berhasil, dan kita juga harus mengakui bahwa kita harus belajar dari mereka.

Tentang pengembangan rumah sakit. Ada beberapa orang yang bilang, “Wah orang NU itu bakhil.” Bakhil gimana? “Ndak mau nyumbang.” Loh kenapa dia mau nyumbang ke tempat lain? Itu berarti tidak bakhil, tetapi tidak percaya kepada organisasi. Jadi kembali lagi ini kepada trust. Dompet Du’afa tahun ini mencapai seratus milyard. Pertumbuhan setahun mencapai 30 persen, berarti sekian belas tahun lagi bisa mencapai satu trilyun.

Tentu saja sebagian yang cukup besar dari penyumbang Dompet Du’afa adalah warga NU, kok percaya kepada Dompet Du’afa tetapi tidak kepada NU? Ini kan berarti tentang kemampuan? Tidak tahu caranya. Dan ini bisa dipelajari, kenapa tidak. Dan modalnya Cuma satu: kita harus membuang jauh-jauh mitos bahwa orang NU itu tidak bisa diatur. Karena kalau sudah begitu ya tidak usah berorganisasi. Selesailah sudah.

Bagaimana mengatur hubungan antar lembaga NU dan antar komponen yang lainnya?


Kalau lembaga mestinya mudah karena diangkat langsung oleh PBNU. Menurut saya dalam mengangkat pengurus PBNU terutama pengurus harian, kita harus duduk dengan mereka dan kita sampaikan, “kita ingin ada target. Selama lima tahun, apa yang ingin anda capai. Tahun pertama apa tahun kedua apa?” Kalau tidak terpenuhi yan harus legowo untuk bergantian dengan teman-teman lainnya. Jadi kita tidak perlu sekedar pajangan, tetapi kita memerlukan orang-orang yang mau bekerja. Kita juga harus mencari orang yang betul betul mampu. Kalau perekonomian misalnya, ya harus mengangkat pelaku ekonomi yang sebenarnya, bukan pejabat departemen ekonomi.

Sedangkan dengan banom-banom: Saya pikir NU harus menata diri dan sikapnya dahulu. Jangan pernah bermimpi bisa mengendalikan banom jika NU selaku “bapak”-nya organisasi belum menegakkan wibawa dan otoritasnya. Dan ini harus di semua tingkatan. Kepengurusan PCNU misalnya tidak akan dapat memperingatkan banom di wilayahnya yang memihak salah satu calon dalam pilkada, jika PCNU sendiri tidak bisa menjaga netralitas dan muruah (martabat)-nya. Jadi pertama-tama yang harus dilakukan adalah membenahi kepengurusan NU-nya sendiri, beserta dengan menegakkan martabat dan kehormatannya selaku “bapak” dalam organisasi besar Nahdlatul Ulama.

Termasuk yang terpenting adalah mengatur jenjang usia antar banom, berapa yang IPNU-IPPNU berapa, dan berapa yang Fatayat dan Ansor. Agar tidak terjadi tumpang tindih. Jangan sampai pengurus IPNU lebih tua daripada pengurus Ansor misalnya atau pengurus Fatayat lebih tua dari pengurus Muslimat. Ini kan bisa lucu kalau terbalik-balik. Termasuk juga adalah membuat aturan-aturan keorganisasian bagi para pemegang kepengurusan NU di setiap jenjangnya.

Mengatasi Dikotomi antara pengurus struktural dan tokoh-tokoh kultural?

Menurut saya itu bukan dikotomi, tetapi fakta yang saling melengkapi. Misalnya kemarin, semua sepakat bahwa Pak Hasyim adalah Pemimpin Struktural NU, sedangkan kulturalnya Gus Dur. Nah hanya saja keduanya sering tidak sependapat dalam masalah politik. Pada hal-hal selain politik, kita sangat jarang mendengar mereka bersebrangan. Nah ini kan membuktikan gegerannya ini adalah urusan politik, bukan hal-hal lainnya. Menurut saya keduanya justru mestinya saling melengkapi.

Seperti juga dikotomi antara syuriyah dan tanfidziyah. Ini menurut saya tidak perlu terjadi. Karenanya saya tidak sependapat dengan istilah “matahari kembar”. Mestinya digunakan istilah yang lebih bagus, dua mesin misalnya. Ini kan bagus istilahnya. Kalau pakai satu mesin kan malah pesawat tidak terbang. hehehe

Kelak jika terpilih, saya berjanji tidak akan mencampuri urusan syuriyah. Tanfidziyah hanya akan menjalankan program-program kerja saja. Tentang Internasional misalnya, saya pikir Pak Hasyim tetap sebagai orang yang paling tepat. Kalau saya jadi ketua umum misalnya dan pak Hasyim duduk sebagai Syuriyah, maka ICIS akan tetap dipegang oleh Pak Hasyim.

Peran NU dalam hubungan antar agama?

Selama ini kebijakan NU sudah tepat dalam hal kerukunan beragama. Sudah cukup dan tidak ada yang salah. Apakah ada yang salah? Menurut saya akan salah bila kita hanya mengurusi hal itu saja, dan mengabaikan hal-hal lainnya. Itu saja. Menurut saya, kebijakan mengenai kerukunan beragama harus dipegang oleh syuriyah.

Kan kita sepakat bahwa tanfidziyah adalah pengemban tugas-tugas operasional intern. Jadi semua urusan yang berhubungan dengan kebijakan ke luar berada di bawah kendali syuriyah.

Termasuk tugas Syuriyah adalah mengawasi tanfidziyah, maka menurut saya idealnya Rois Am dipegang oleh orang yang memiliki kemampuan mengawasi. Jangan sampai seorang yang diawasi malah lebih gesit dari pada yang mengawasi. Kan susah jadinya.

Pendapat tentang ketua tanfidziyah seorang manager?

Menurut saya bukan manager, tetapi pemimpin yang memiliki kemampuan managerial. Kalau manager kan terlalu kecil, manager kan kepala kantor. Itu terlalu kecil, bahkan lebih kecil dari Direktur. Pemimpin tanfidziyah menurut saya idealnya adalah do-er, seorang pelaksana, seorang pemimpin bukan sekedar pandai ceramah saja.

Apakah penting dalam memberikan masukan kepada pemerintah dengan menggunakan kekuatan massa?


Menurut saya lebih baik menggunakan cara lain. Sedangkan penggunaan kekuatan massa hanya diperlukan dilakukan sebagai pilihan terakhir. Tetapi tetap sah-sah saja kalau memang diperlukan. (min/mkf)


Biodata: KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah)

Nama: IR. H. SALAHUDDIN WAHID
Lahir: Jombang, 11 September 1942

PENDIDIKAN:

* Institut Teknologi Bandung (ITB)
* Mengikuti berbagai seminar dan Pelatihan Kepemimpinan

PENGALAMAN PEKERJAAN:

* Wakil Ketua Komnas HAM (2002-2007)
* Anggota MPR (1998-1999)
* Penulis lepas pada berbagai media (1998-sekarang)
* Assosiate Director Perusahaan Konsultan Properti Internasional (1995-1996)
* Direktur Utama Perusahaan Konsultan Teknik (1978-1997)
* Direktur Utama Perusahaan Kontraktor (1969-1977)

PENGALAMAN ORGANISASI:

* 1957-1961 Kepanduan Ansor
* 1961-1962 Wakil Ketua OSIS SMAN 1 Jakarta
* 1963-1964 Anggota pengurus Senat Mahasiswa Arsitektur ITB
* 1967 Bendahara Dewan Mahasiswa ITB
* 1964-1966 Komisariat PMII ITB
* 1964-1966 Wakil Ketua PMII Cabang Bandung
* 1966-1967 Dewan penurus Pendaki Gunung Wanadri
* 1973-skrng Anggota Ikatan Arsitek Indonesia
* 1988-skrng Anggota Persatuan Insinyur Indonesia.
* 1989-1990 Ketua DPD DKI Indkindo (Ikatan Konsultan Indonesia)
* 1991-1994 Sekretaris Jenderal DPP Inkindo
* 1993-1994 Pemred Majalah Konsultan
* 1994-1998 Ketua Departemen Konsultan Manajemen Kadin
* 1995 Mendirikan Ikatan Konsultan Manajemen Indonesia
* 2002-2005 Anggota Dewan Pembina YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
* 1999-2004 Ketua PBNU
* 2000-2005 Ketua MPP ICMI
* 1995-2005 Anggota Dewan Penasehat ICMI
* 1998-1999 Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Umat
* 1998-1999 Ketua Lajnah Pemenangan Pemilu PKU
* 2002-2005 Ketua Umum Badan Pengurus Yayasan Pengembangan Kesejahteraan Sosial
* 2000-skrg Ketua Badan Pendiri Yayasan Forum Indonesia Satu.
* 1993-skrg Anggota Pengurus IKPNI (Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia)
* 1982-1994 Pendiri, Ketua, Angg. Badan Pengurus Yayasan Baitussalam
* 1985, 1999 Pendiri, Sekretaris Yayasan Wahid Hasyim
* 2006-Sekarang, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang
* 2009-Sekarang, Dewan Pembinan Yayasan Hasyim Asy'ari.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Terkait